Anime Kuasai Dunia, Tapi Bisakah Jepang Menjadi Adikuasa Budaya Selanjutnya?
Anime telah membuka jalan Jepang ke panggung global, tapi akankah negara ini memimpin…. atau justru tertinggal di belakang?


Di tengah persaingan ketat industri hiburan global, Jepang berdiri di titik krusial. Bukan karena kekuatan ekonominya, melainkan karena pengaruh budayanya yang meresap ke seluruh dunia dan anime menjadi ujung tombaknya. Dari layar Netflix hingga memes di TikTok, dari kaos di Harajuku hingga perayaan kemenangan ala Kamehameha di panggung Olimpiade, jejak budaya Jepang kini tak lagi bisa diabaikan.
Namun, satu pertanyaan besar pun muncul: Akankah Jepang mengambil alih panggung dunia sebagai adikuasa budaya baru atau justru membiarkan pihak lain menyalip, sambil memonetisasi kisah-kisah yang lahir dari tanahnya sendiri?
Gelombang globalisasi digital telah membuka peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Layanan streaming berebut konten dari berbagai penjuru dunia, dan Jepang punya modal besar berupa puluhan tahun warisan budaya pop yang sudah teruji. Menurut data dari Association of Japanese Animations (AJA), anime meraup pendapatan global sebesar $19,8 miliar pada tahun 2023.
Yang mengejutkan, baru sebagian kecil dari katalog manga Jepang yang diadaptasi menjadi anime. Artinya? Masih banyak cerita yang bisa digarap dan dipasarkan secara global.
Gen Z menjadi katalis utama dalam revolusi ini. Mereka tidak memandang bahasa atau negara asal sebagai batas. Mereka lahir dan besar di era YouTube, Crunchyroll, Netflix, dan sejenisnya. Konten Jepang bukan lagi “konten asing”, melainkan bagian dari identitas mereka.
Mulai dari fashion, bahasa, musik, hingga gaya hidup, budaya Jepang telah menyusup secara halus ke dalam kehidupan sehari-hari para penggemar. Dan bukan hanya penonton kasual, mereka adalah konsumen aktif yang membeli merchandise, mengikuti event, hingga membuat karya fanart dan cosplay yang viral di seluruh dunia.
Keberhasilan anime seharusnya tidak dilihat sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai pintu masuk untuk memperluas sektor budaya lainnya. Lihat saja Korea Selatan—dengan gelombang Hallyu yang sukses memadukan K-Drama, K-Pop, kuliner, produk kecantikan, dan fashion menjadi satu paket budaya yang sulit ditolak. Jepang punya semua elemen itu juga, namun masih belum memiliki strategi terpadu.


Salah satu contoh ironi datang dari serial Shogun dari FX. Kisahnya mengangkat sejarah Jepang—dengan latar, budaya, dan tokoh-tokoh yang begitu khas—namun justru diproduksi sepenuhnya di luar Jepang.
Padahal Jepang punya semua bahan bakunya: sejarah yang kaya, talenta kreatif, dan budaya yang mendunia. Tapi anehnya, negara ini belum jadi produsen utama cerita tentang dirinya sendiri di mata dunia.
Masalahnya bukan pada kekurangan ide, tapi pada cara menyalakan mesinnya yang masih tertinggal. Banyak studio masih terpaku pada pola bisnis lama yang berfokus pada pasar domestik, dengan sistem perizinan yang berlapis, pembagian hak yang rumit, dan jadwal rilis yang tidak sesuai dengan standar global saat ini.
Padahal di era streaming, kecepatan dan koordinasi adalah segalanya. Jika Jepang ingin menjadi produsen utama kisah-kisahnya sendiri, transformasi digital dan efisiensi distribusi tak bisa ditunda lagi. Pemanfaatan big data, analitik audiens, serta sistem kerja yang lebih ramping harus segera menjadi prioritas. Kalau tidak, bukan tak mungkin dunia justru akan mengenal Jepang dari cerita yang ditulis oleh orang lain.
Masalah lainnya adalah soal kompensasi para kreator. Kreator Jepang secara historis dibayar jauh di bawah rekan-rekan mereka di luar negeri—padahal karya mereka kini menjangkau pasar global dan menghasilkan pendapatan miliaran yen. Tanpa pembenahan yang serius, bukan tidak mungkin talenta terbaik justru pindah ke luar negeri, seperti yang sudah sering terjadi di industri game dan animasi.
Selain itu, sistem komite produksi yang selama ini menjadi tulang punggung industri juga perlu dievaluasi. Model ini melibatkan banyak pemangku kepentingan yang masing-masing menginginkan potongan hak distribusi berdasarkan wilayah. Akibatnya, negosiasi dengan streamer jadi lambat dan berbelit, sangat bertolak belakang dengan preferensi streamer yang lebih suka sistem satu pintu untuk hak global. Hal ini mendorong streamer untuk memilih membuat produk mereka sendiri, yang berarti Jepang bisa kehilangan pangsa pasar bahkan dalam cerita bertema Jepang itu sendiri.
Tiongkok, Korea Selatan, dan negara-negara Asia Tenggara mulai bergerak cepat. Mereka berinvestasi besar dalam produksi konten, analitik digital, dan strategi ekspor budaya. Jika Jepang tidak segera bertindak, momen emas ini bisa lewat begitu saja.
Yang dibutuhkan bukan hanya kreativitas, tapi kemauan politik dan kerja sama industri. Subtitel yang cepat, distribusi yang efisien, hak yang terkoordinasi, dan visi bersama bahwa Jepang bisa dan harus memimpin.
Dunia sedang menoleh ke Jepang—menunggu, membuka pintu, bahkan menyanyikan lagu-lagu dan memakai kostum dari kisahnya. Tapi kesempatan ini tidak akan menunggu selamanya.
Di era streaming, yang lambat akan tertinggal. Dan yang siap, akan memimpin.
Jepang hanya perlu memilih, mau jadi pusat gravitasi budaya dunia atau sekadar orbit kecil dalam cerita milik orang lain.
Sumber: japantimes
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang