Review Film Sumala: Film Parenting Berkedok Horor
Film Sumala (2024) menceritakan sosok gadis bernama Sumala yang menjadi momok bagi warga Kabupaten Semarang. Sebab ia masih berkeliaran di hutan-hutan sampai saat ini. Disutradarai oleh Rizal Mantovani, salah satu filmnya yang sangat terkenal 5 cm (2012) dan pada tahun 2013 ia mendapatkan anugerah piala citra sutradara terbaik. Selain itu dia juga mengarahkan film horor sejak tahun 1998, salah satunya adalah film jadul Kuntilanak (2018), Kuntilanak 2 (2019), Kuntilanak 3 (2008), dan Air Terjun Pengantin (2009). Film terbarunya tahun 2024 dua film horor Kereta Berdarah (2024) dan Sumala (2024).
Singkatnya Sumala menceritakan sepasang suami istri yang kaya raya merasa putus asa karena tak kunjung dikaruniai buah hati yang berlatar di Semarang pada tahun 1947. Tanpa sepengetahuan Soedjiman (Darius Sinathrya) suaminya, Sulastri (Luna Maya) melakukan perjanjian dengan iblis supaya ia bisa memiliki anak. Ia melahirkan anak kembar, Kumala (Makayla Rose) yang bertahan hidup dan Sumala (Makayla Rose) yang meninggal. Kumala tumbuh menjadi anak yang baik hati tapi cacat fisik dan mental. Ia sering mendapat perlakuan buruk dari orang-orang sekitarnya. Suatu hari Sumala datang dari dunia kematian dan membuat perhitungan kepada mereka yang telah menyakiti Kumala. Lebih lengkapnya lagi simak review film Sumala berikut ini:
Realisme magis era boomers
Jauh sebelum sutradara Sumala terjun di dunia perfilman, kisah seperti Sumala cukup sering terjadi di sekeliling kita terutama di wilayah Kabupaten atau pedesaan. Seperti yang kita tahu tahun 1947 termasuk generasi boomers yang terjadi pasca Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia.
Pada babak pertama film Rizal sendiri menampilkan seorang berkebangsaan Belanda yang sedang bercakap dengan Soedjiman perihal rencananya yang membuat pabrik di tanah milik Soedjiman. Suasana mulai menegang saat Soedjiman mengancam Sulastri untuk segera memiliki keturunan. Sehingga dengan terpaksa ia melakukan hal gaib agar rumah tangganya tidak mendapat kecaman dari sosial.
Film ini menggambarkan dunia nyata dengan unsur-unsur fantasi atau magis. Penggabungan unsur realis dengan elemen magis sangat tidak terbatas. Sebab perilaku yang dilakukan oleh Sulastri dianggap normal, sehingga penonton beranggapan bahwa praktik perdukunan dengan ilmu hitam termasuk hal yang sangat wajar. Selain itu peran Sulastri di sini cukup menggambarkan kondisi dan pandangan perempuan saat itu, seperti pada dialog, “Urus saja rahimmu itu biar cepat punya anak!”
Eksplorasi yang dilakukan Rizal dari peran Soedjiman dan Sulastri cukup pas tidak terlalu berlebihan sebab arus utama yang ditunjukkan dari film ini adalah objektif budaya. Di mana kepercayaan pada hal mistis menjadi solusi atas segala permasalahan yang terjadi dengan cara yang instan. Dengan perjanjian yang disepakati dan harus dipatuhi oleh kedua belah pihak. Apabila melanggar terdapat beberapa konsekuensi yang akan terjadi.
Film parenting berkedok horor
Istilah parenting saat ini cukup banyak digemari oleh banyak kalangan, di mana banyak konten seputar ilmu tentang proses mendidik dan pola asuh anak yang dilakukan calon orang tua atau orang tua muda saat mulai dalam kandungan hingga dewasa. Hal ini menjadi perhatian publik seiring perkembangan zaman dan film ini menyoroti kehidupan generasi boomers yang minim informasi dan teknologi.
Prolog dimulai saat kelahiran Sumala dan Kumala. Terjadinya miskomunikasi antara pasangan suami istri ini yang menyebabkan kemarahan iblis terhadap keluarga mereka. Sesuai perjanjian yang dilakukan Sulastri dan iblis adalah ia akan mendapatkan dua bayi kembar yang diberi nama Sumala dan Kumala. Naasnya, salah satu bayi lahir dalam kondisi cacat dan buruk rupa.
Tumbuh kembang Kumala sejak lahir ditemani oleh Mbok Sum (Ivonne Dahler), pemeran protagonis yang menjadi satu-satunya support system Kumala. Ia juga yang menemani Kumala hingga berusia 10 tahun serta menjadi saksi hidup hingga kisah ini menjadi bagian sastra lisan masyarakat Semarang. Sedangkan peran Soedjiman yang otoriter dan Sulastri yang selalu patuh dan takut pada sang suami membuat hubungan Kumala dengan orang tuanya semakin berjarak. Ditambah lagi Kumala yang selalu mendapatkan perundungan dari keluarga besar dan masyarakat desa membuat Soedjiman malu dan kerap menghukum Kumala.
Peran orang tua di sini yang seharusnya menjadi pahlawan bagi anak-anaknya justru memberikan memori yang buruk bahkan menimbulkan rasa trauma. Film Sumala ini cukup menjadi pembelajaran bagi penonton untuk lebih aware terhadap dunia parenting dan psikologi. Memang apa yang dilakukan Sulastri tidak dapat dibenarkan, perlu adanya kerja sama yang baik antara suami dan istri.
Persiapan untuk menjadi orang tua sendiri tidak hanya materi, ada hal yang lebih penting lagi, mental. Selaras dengan ungkapan Sumala pada scene denouement, kurang lebihnya seperti ini “Kalau bapak rindu kasih sayang orang tua jadilah orang tua yang baik untuk anakmu bukan malah menyakitinya. Di dunia ini tidak ada yang benar-benar sempurna, pak!”
Kelebihan dan kekurangan film Sumala
Serentetan adegan horor muncul saat Kumala yang menjelma seperti Sumala, di mana ia menuntaskan balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti Kumala selama hidupnya. Klimaksnya cukup halus tapi kebengisan serta adegan gorenya yang membuat film ini terlihat sangat creepy dan disturbing. Film horor tersadis yang bisa dikatakan lebih kejam dibandingkan film Di Ambang Kematian. Keduanya sama-sama diangkat dari kisah nyata yang membuat penonton lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Kelebihan dari film Sumala adalah alur ceritanya cukup ringan namun pesan dan visualisasinya bisa dibilang perfect. Sinematografi dan dialog yang sangat diperhatikan dengan baik membuat film ini mampu menutupi kekurangan dari dialek jawa yang masih agak kaku, scoring yang kurang tepat dari peran Kumala dan make-up karakter Kumala yang terlihat seperti boneka, sedikit terlihat seperti bukan anak iblis yang menyeramkan dan kurang meyakinkan. Namun, hal itu tidak terlalu mengganggu jalannya cerita.
Apresiasi yang sangat tinggi pada dua perempuan di film ini, pertama kepada Kumala (Makayla Rose). Karakter yang cukup susah diperankan oleh anak seusia 12 tahun namun ia sangat bagus membawakan peran Kumala, gadis kecil yang mengalami pincang dan keterbatasan komunikasi. Kedua kepada Sulastri (Luna Maya), memerankan perempuan jawa dengan sangat apik.
Salah satu amanat yang wajib dihighlight untuk penonton adalah untuk mempersiapkan diri sebelum menjadi orang tua. Jika tidak bisa menyayangi diri sendiri, menghargai diri sendiri, atau membahagiakan diri sendiri jangan melahirkan manusia ke dunia ini. Sebab rasa ketidaksempurnaan yang ingin dicapai membuat kemarahan dan kekecewaan mudah dilampiaskan pada orang lain.
Itu dia review film Sumala, film horor Indonesia yang cocok ditonton di minggu ini. Kunjungi bioskop terdekat untuk mengikuti kisah Sumala lebih lengkapnya.
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang