Matcha Jadi Tren Global, Tapi Produksinya Terancam Kolaps—Kenapa?
Ini bukan Time Crisis apalagi Dino Crisis, krisis kali ini nyata, dan dunia penggemar teh hijau mulai panik.




Siapa sangka bubuk teh hijau yang dulu cuma dikenal lewat upacara minum teh tradisional Jepang kini berubah menjadi superstar internasional? Matcha kini tak hanya ditemukan di cangkir-cangkir mungil saat ritual minum teh, tapi juga di latte kekinian, donat, es krim, bahkan skincare. Warnanya yang hijau segar dan kesan “sehat”-nya seolah jadi tiket emas menuju hati (dan feed Instagram) banyak orang.
Tapi di balik popularitasnya yang makin mengilap, dunia matcha ternyata sedang menghadapi masalah besar yang jarang disorot: produksinya tak sanggup mengejar permintaan. Jepang, sebagai rumah asli matcha, mulai kewalahan. Bahkan menurut beberapa pelaku industri, kita sedang memasuki apa yang mereka sebut sebagai “krisis matcha”.
Produksi Matcha Gak Bisa Dikebut
Berbeda dari teh biasa, matcha membutuhkan perhatian sejak masih di ladang. Agar warnanya tetap hijau cerah dan rasanya khas, tanaman teh harus ditanam di tempat teduh selama beberapa minggu sebelum panen. Setelah dipetik, daun segera dikukus untuk menghentikan oksidasi dan menjaga rasa. Daun ini kemudian dikeringkan menjadi tencha, disortir, dibuang batang dan uratnya, lalu digiling perlahan menggunakan batu granit tradisional. Prosesnya lambat, presisi, dan nyaris sakral, jauh dari produksi massal biasa.


Karena prosesnya yang rumit, produksi matcha sulit ditingkatkan secara cepat. Bahkan dengan bantuan teknologi modern, ada batasan dalam mempercepat tahapan produksi tanpa mengorbankan kualitas. Itulah sebabnya Jepang, yang dikenal sebagai penghasil matcha berkualitas tinggi, mulai kewalahan.
Pemerintah Jepang sebenarnya sudah mencoba mendorong ekspansi dengan memberi subsidi pada petani teh. Namun, jumlah petani semakin berkurang karena faktor usia dan minimnya regenerasi. Alhasil, meski produksi telah meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir, itu tetap belum cukup untuk memenuhi permintaan global.
Sementara itu, Tiongkok turut masuk ke pasar matcha global dan kini menjadi produsen terbesar secara volume. Namun, kualitas matcha dari sana kerap dipertanyakan karena berfokus pada efisiensi produksi. Banyak produk yang dijual ke pasar domestik mereka sendiri, tapi sebagian juga merambah ke internasional.
Hal ini membuat para pengamat khawatir. Jika konsumen tidak bisa membedakan matcha berkualitas dengan yang biasa saja, standar global bisa menurun. Matcha berisiko berubah menjadi sekadar bahan massal, kehilangan keistimewaannya sebagai minuman yang sarat tradisi dan seni.
Beberapa pengamat sempat berharap pada gejolak perdagangan global yang bisa memberi keuntungan kompetitif bagi Jepang. Namun nyatanya, krisis ini jauh lebih dalam dari sekadar perjanjian dagang. Menurut laporan dari Inggris, penjualan produk rasa matcha di sana meningkat tiga kali lipat hanya dalam setahun terakhir dan bahkan mengalahkan penjualan teh klasik seperti Earl Grey. Di AS dan Eropa, tren “beralih dari kopi ke matcha” pun makin terdengar.
Dengan permintaan seperti ini, seorang penjual dari Irlandia bahkan menyebut bahwa Jepang perlu meningkatkan produksi hingga 10 kali lipat hanya untuk mengimbangi pasar lima tahun ke depan. Ini tentu sulit, mengingat krisis tenaga kerja di sektor pertanian Jepang yang makin parah.
Sayangnya, dengan permintaan yang begitu besar, banyak konsumen mungkin tak akan peduli soal kualitas. Mereka akan tetap beli apa pun yang ada di rak, asalkan “warna hijau” dan “label matcha” terpampang jelas. Ini bisa jadi masalah bagi Jepang, karena standar tinggi mereka bisa terkikis oleh gelombang produk massal dari luar negeri
Komentar Netizen Jepang: “Naikkan Harganya Aja!”
Di media sosial Jepang, wacana soal matcha sebagai produk premium mulai mencuat. Berikut beberapa komentar netizen yang menarik perhatian:
“Jepang telah menjualnya dengan harga yang terlalu murah. Produk ini seharusnya dipasarkan sebagai produk kelas atas karena memang begitu.”
“Ini bisa jadi hanya tren sesaat, seperti bubble tea atau tiramisu. Meningkatkan produksi untuk saat ini tidak masalah, tetapi Anda harus bersiap untuk masa depan.”
“Saya rasa matcha tidak hanya sekadar tren yang akan berlalu begitu saja, karena bisa digunakan dengan berbagai cara.”
“Mengapa mereka tidak menjualnya dengan harga yang lebih mahal?”
“Perminttan global ini mungkin tidak tahu seperti apa rasa matcha yang enak, jadi pasar akan dibanjiri dengan barang-barang berkualitas rendah.”
“Naikkan harga dan produksi lebih banyak agar kita bisa mendapatkan uang di sini.”
“Baiklah, siapa yang mengatakan kepada semua orang bahwa matcha itu enak?”
“Sepertinya membawa camilan matcha sebagai oleh-oleh untuk perjalanan saya ke Eropa adalah pilihan yang tepat.”
“Saya bekerja di sebuah toko di daerah yang ramai turis dan semua orang membeli produk matcha.”
“Matcha yang digunakan dalam upacara minum teh dibuat dengan sangat hati-hati. Saya harap gelombang komersialisme ini tidak mempengaruhi hal itu.”
Matcha bukan cuma soal rasa atau warna. Di balik setiap sendok kecil bubuk hijaunya, ada proses panjang, tangan-tangan ahli, dan filosofi Jepang yang penuh kesabaran. Tapi jika tren terus meroket tanpa solusi produksi yang sepadan, bukan tak mungkin “bubuk hijau ajaib” ini akan jadi barang langka di masa depan.
Jadi lain kali Titipers menyesap matcha latte di kafe, ingatlah kamu sedang menikmati secuil dari tradisi ribuan tahun yang kini berada di ujung tantangan global.
Sumber: Soranews24
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang