Seiring pesatnya perkembangan inovasi dan teknologi, rupanya terselip budaya patriarki di Jepang yang masih membumi dalam lini kehidupan masyarakat setempat hingga kini. Apa kaitannya dengan sejarah Negeri Sakura? Simak Selengkapnya!
Menengok sejarah lampau, Jepang kental dengan sistem pemerintahan feodal yang berlangsung hingga restorasi Meiji pada tahun 1896. Berdasarkan benang merah tersebut, tidak mengherankan bahwa hingga saat ini eksistensi budaya patriarki di Jepang masih terasa.
Dilansir dri JapanTimes, pada Tahun 2018, pemrintahan Jepang bahkan mengurangi kuota penerimaan mahasiswa baru perempuan di salah satu Perguruan Tinggi Medis Tokyo untuk menjaga rasio wanita pada angka 30% saja. Tak berhenti di situ, Jepang juga mengurangi kuota partisipasi wanita dalam bidang politik.
Bayang-bayang pemerintahan feodal yang ditandai dengan struktur sosial turun temurun serta rendahnya mobilitas sosial menyebabkan adanya hierarki gender di wilayah Asia Timur. Tak jarang isu gender masih mencuat dan menjadi “PR” besar bagi Negeri Sakura.
Kilas Balik: Suara Perempuan Melawan Patriarki di Jepang
Ingatkah Titipers dengan kasus atronot wanita Jepang, Yuneda Ayu? Perempuan prestatif sekelas Yuneda pun masih mendapat pertanyaan seksisme dari jurnalis setempat. Bukan hanya Yuneda saja, isu eksploitasi idol wanita di negeri sakura juga sepertinya sudah menjadi rahasia umum.
Seorang guru sekaligus aktivis hak perempuan dari Negeri Sakura, Taki Fujita, pernah menuliskan dalam jurnal berjudul Women and Politics in Japan tentang fakta perjuangan wanita di sana mendapatkan “suara”. Kaum perempuan di Jepang mendapatkan hak memilih dalam pemilihan umum pertama kali pada 10 April 1946.
Seolah memberi angin segar, lika-liku perjuangan Raicho Hiratsuka akhirnya terbayarkan meskipun New Women Association besutannya sempat dilarang pada 1919. Mereka butuh perjuangan selama 30 tahun sebelum hak suara tersebut akhirnya mereka dapatkan.
Meskipun perempuan telah mendapat hak “suara”, sayangnya patriarki di jepang tidak berhenti di lingkup politik saja. Sektor ekonomi dan ketenaga kerjaan di Jepang juga masih “berat sebelah” terhadap kaum perempuan.
Berdasarkan data Organization for Economic Co-operation and Development tahun 2018 kesenjangan upah tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan di Jepang menginjak angka 24.5%. Angka tersebut dilatarbelakangi karena kurangnya partisipasi perempuan dalam bidang manajerial.
Mayoritas di antara karyawan perempuan di Jepang sebatas pegawai non-reguler saja.
Hegemoni Maskulinitas yang Menghadirkan Batas
Sebelum menyebar di semua lini kehidupan, sejatinya sistem patriarki di Jepang sudah bermula dari lingkup paling sederhana yakni keluarga. Tidak bisa dipungkiri, budaya Asia Timur rata-rata masih menempatkan lelaki pada kedudukan yang lebih dominan daripada perempuan.
Patriarki di Jepang masih memandang peran perempuan dengan konservatif. Perempuan sangat dibebankan pada tanggung jawab mengurus anak maupun anggota keluarga yang lebih tua. Alih-alih dianggap sebagai pekerjaan domestik, tugas “beres-beres rumah” saja juga dibebankan sebagai tugas isteri.
Hegemoni maskulinitas yang terbangun demikian membawa konotasi maknanya condong pada kedudukan pria serta menguatkan sistem patriarki di Jepang. Seakan-akan perempuan memang harus dibatasi dalam mengakses dan mengeksplorasi “dunia luar”.
Shinzo Abe, Perdana Menteri yang Melawan Patriarki
Meskipun beberapa sektor masih kental dengan patriarki di Jepang, namun bukan berarti tidak ada petinggi yang melawan hal ini. Shinzo Abe, politikus yang sempat menjabat sebagai perdana menteri tahun 2012 hingga 2020 tersebut adalah salah satu contoh petinggi negara yang berusaha melawan patriarki.
Melalui kebijakan ekonomi womenomics yang ia canangkan, secara tidak langsung Abe sangat berkontribusi dalam menyuarakan kesetaraan hak perempuan di Jepang. Kebijakan yang dicanangkan pada tahun 2015 itu berkonsep memanfaatkan talenta perempuan untuk memecah masalah kekurangan tenaga kerja di Jepang.
Keinginan Abe untuk melunturkan patriarki di Jepang dengan mengusung kebijakan womenomics ini tertuang dalam Hanebuto no Honshim tahun 2014. Henebuto no Honshim inilah yang menjadi dokumen kunci mencakup kebijakan dan anggaran kala pemerintahannya.
Pemerintahan Shinzo Abe merilis sebuah rencana untuk menjalankan legislasi baru yang memfasilitasi proses promosi tenaga kerja perempuan. Bahkan pada akhir tahun 2015 Abe menambah inisiasi kebijakan Dynamic Engagement of All Citizens agar partisipasi ekonomi perempuan ini menjadi kebijakan sentral.
Lantas bagaimana dengan masa mendatang? Mungkinkah lahir kembali kebijakan-kebijakan yang mengikis sistem patriarki di Jepang? Tulis pendapatmu di kolom komentar ya!
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang