Review Suzume No Tojimari – Film Road Trip Ala Makoto Shinkai Yang Indah

Titip Jepang - review suzume no tojimari, pintu suzume

Film Suzume no Tojimari atau dalam versi Bahasa Inggrisnya adalah Suzume’s Locking Up baru saja tayang di Indonesia hari Rabu, tanggal 8 Maret kemarin. Film terbaru besutan Makoto Shinkai ini berhasil memberikan penghasian luar biasa di Jepang sana, meski tidak sebesar Kimi no na Wa. Berikut review Suzume no Tojimari dari Titip Jepang.

BACA JUGA: REVIEW FILM ANIME Your Name: Kisah Cinta Beda Waktu

Setelah Kimi no na Wa (Your Name), Makoto Shinkai akhirnya mendapat pengakuan di kalangan mainstream secara internasional. Filmnya laris manis di mana-mana dan dibicarakan oleh banyak kalangan. Menyusul kemudian Tenki no Ko (Weathering With You) yang mengalami penurunan secara kualitas narasi, Suzume membawa beban berat untuk membuktikan Shinkai tidak kehilangan tajinya. Review Suzume no Tojimari ini akan membedah film pembuktian bagi Makoto Shinkai.

BACA JUGA: REVIEW FILM ANIME Weathering With You: Bucin Bikin Banjir Sekota

 SINOPSIS SUZUME NO TOJIMARI 

Di sebuah kota yang tenang di daerah Kyushu, hiduplah seorang gadis berumur 17 tahun bernama Suzume, ia kemudian bertemu dengan seorang pemuda yang sedang berkeliling mencari pintu. Suzume kemudian mengikuti pemuda tersebut. Ia menemukan sebuah pintu di reruntuhan pegunungan seakan-akan pintu tersebut adalah satu-satunya benda yang tersisa dari reruntuhan, pintu itu ia raih dan tiba-tiba ia tertarik ke dalam pintu tersebut.

Tak berselang lama, pintu-pintu lainnya mulai terbuka silih berganti di berbagai penjuru Jepang. Pintu yang terbuka akan mendatangkan bencana dari sisi lainnya, sehingga pintu tersebut harus ditutup. Pintu misterius inilah yang menjadi awal dari cerita film.

 SEBUAH FILM COMING OF AGE BERKEDOK ROAD TRIP 

Suzume menceritakan tentang petualangannya bersama Satou yang kemudian menjelma menjadi kursi imut dalam menutup pintu di seluruh Jepang. Perjalanan ini dimulai di Kyushu yang merupakan bagian bawah selatan Jepang, sebuah daerah yang bisa dibilang ndeso. Kemudian perlahan mereka bergerak makin ke atas menuju ke tempat yang lebih metropolitan. Perjalanan ini membawa Suzume, selain “mengunci pintu” dan “menyegel bencana” juga melibatkan pertemuannya dengan berbagai macam orang yang membantunya baik secara harfiah maupun simbolis agar Suzume bisa semakin bertambah dewasa. Pendewasaan karakter Suzume berjalan seiring pandangannya terhadap dunia yang semakin luas, dari anak desa yang dunianya sempit dan terkekang oleh bibinya yang over protective, menjadi orang yang bisa menentukan apa sebenarnya yang dia inginkan setelah melalui berbagai macam kejadian yang secara harfiah mempertaruhkan nyawanya dan melihat betapa luasnya dunia selain di kampung halamannya. Pintu-pintu yang ditutup secara simbolis bisa diartikan sebagai ujian Suzume dalam menghadapi hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Titip Jepang - trailer suzume

 MUATAN MITOLOGI DAN KRITIK SOSIAL YANG KENTAL 

Sejak Kimi no na Wa, Shinkai selalu dengan ajeg memasukkan unsur-unsur mitologi atau budaya Jepang ke dalam filmnya. Suzume no Tojimari meskipun tidak secara tepat menaruh unsur budaya daerah, tapi memberikan kita mitologi baru yang dirancang oleh Shinkai dengan mendasarkan pada bencana-bencana yang sering terjadi di Jepang. Alam adalah entitas yang harus dihormati dan memiliki “kehendak”. Pintu adalah perwujudan rasa kepedulian dan terima kasih manusia terhadap alam. Apabila lalai, maka akan ada sesuatu yang menerobos ke luar dan memberikan bencana. Metafora ini seakan menyuruh kita agar lebih peduli pada alam kalau tidak mau bencana terus datang.

Mantra atau do’a adalah hal krusial dalam berbagai budaya dan peradaban manusia. Shinkai menggunakan do’a sebagai ritual yang harus selalu diucapkan ketika menutup Pintu Bencana. Hal ini bisa diartikan bahwa penting untuk manusia agar terus memberikan rasa syukur secara verbal dan juga tindakan kepada alam sebagai entitas yang melebihi nalar manusia.

 TANDA TANGAN SHINKAI SEJAK KIMI NO NAWA MAKIN KUAT 

Ada dua hal yang dulu diasosiakan dengan Makoto Shinkai, yang pertama adalah penggunaan lanskap-lanskap indah untuk background cerita dan cerita sendu pilu. Suzume no Tojimari masih memberikan lanskap-lanskap indah yang membuat kita terpukau, apalagi jika ditonton di bioskop. Ada istilah wisata Makoto Shinkai, yaitu lokasi-lokasi yang digunakan untuk background film-filmnya yang kemudian menjadi obyek wisata. Film ini juga tidak alpa menggunakannya, kita pasti ingin ke Ehime dan Kyushu setelah menonton film ini.

Sejak Kimi no na Wa, Shinkai tidak lagi mengandalkan cerita sendu tapi memakai pendekatan lebih mainstream dengan cerita yang lebih nge-pop. Penggunaan lagu dan soundtrack yang mendayu-dayu sebenarnya sudah ada sejak 5 cm/seconds, meski di Kimi no na Wa menjadi sangat overused. Suzume untungnya tidak begitu, masih ada soundtrack dan lagu sendu, tapi semuanya dimasukkan dengan tepat guna. Ditambah banyaknya lagu sisipan yang nge-blend di cerita membuat penonton oldies akan bisa memberi apresiasi lebih. Lagu digunakan sebagai bagian dari cerita, tidak untuk mencurangi penonton agar meneteskan air mata. Shinkai terlihat sudah lebih nyaman dengan “gaya baru” yang dia adopsi sejak Kimi no na Wa.

BACA JUGA: Daftar Film Karya Makoto Shinkai

(MUNGKIN) PENGKHIANATAN TERHADAP 5 CM/SECONDS

Filmnya bagus, cerita sudah tertata lebih rapi, lagunya oke, lanskap yang jadi andalan Makoto Shinkai juga hadir dengan megah. Lalu, apa yang kurang? Nuansa sendu pilu yang menggerus hati hilang dari film-film Shinkai post-Kimi no na Wa. Filmnya jadi terasa biasa, mainstream dan tidak spesial untuk sebagian fans. Mungkin ketika ada yang merasa terkhianati, ya itu wajar saja. Hal yang membuat 5cm/seconds menjadi classic adalah rasa relatable yang kuat untuk sebagian orang. Tapi menontonnya tidak membuat kita bahagia, tapi kita turut sendu bersama dengan Shinkai. Suzume memberikan aura yang jauh lebih positif dibanding semua film sebelumnya, mungkin hal ini membuat beberapa fans hardcore Shinkai malah merasa ter-alienasasi. Mungkin memang itu harga yang harus dibayar Shinkai untuk menjadi mainstream.

WORTH TO WATCH OR SKIP IT?

Untuk penggemar Makoto Shinkai jelas sangat layak tonton banget! Untuk khalayak awam, film ini mungkin tidak akan bisa sengepop Kimi no na Wa karena memang nuansanya Jepang banget. Agak butuh pengetahuan lebih soal kultur sosial budaya di Jepang untuk bisa memberi apresiasi yang lebih besar. Tapi Suzume no Tojimari tetaplah sangat layak tonton bagi siapa pun karena tema besarnya soal pendewasaan diri dan penerimaan akan masa lalu. Semoga review Suzume no Tojimari ini bisa membantu Titipers, ya! ^^

Jangan lupa ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^

Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *