Novelis Anti-Perang dan Profesor Universitas Tokyo Membahas Moral Kontradiktif di Gundam
Jepang memiliki sejarah yang kaya akan film dan sastra anti-perang. Sehubungan dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina, novelis Toma Aisaka dan profesor Shigeki Uno dari Universitas Tokyo melakukan diskusi anti-perang. Tema pembahasan itu adalah “apa artinya menjadi anti-perang di Jepang hari ini”. Bagian dari diskusi ini melibatkan salah satu franchise anime legendaris seperti Mobile Suit Gundam dalam menggambarkan kengerian perang bagi penonton selama masa damai Jepang.
Aisaka adalah penulis Doshi Shо̄jo Yo, Teki Wo Ute (“Young Woman Comrade, Shoot the Enemy“), novel laris tentang penembak jitu wanita yang aktif selama Perang Jerman-Soviet. Dia mengungkapkan keinginannya untuk menggambarkan perspektif perempuan dalam perang, yang sering diabaikan dalam cerita sejarah maupun fiksi. Pada saat yang sama, ia menunjukkan kesadarannya bahwa, terlepas dari maksud penulisnya, fiksi dapat dipersepsikan secara berbeda tergantung pada penonton. Sebagai contoh, ia mengangkat adaptasi manga The Unwomanly Face of War karya Svetlana Alexievich, yang dikonsumsi sebagai produk “militer moe” di beberapa kalangan.
Dia melanjutkan: “Para pencipta anime Mobile Suit Gundam berusaha menyampaikan tragedi perang kepada kaum muda dalam bentuk hiburan. Meskipun demikian, akhirnya membuka pintu terlarang (menyebabkan salah persepsi) ‘menggambarkan perang sebagai hal yang keren. ‘ Meskipun generasi dengan ingatan yang jelas tentang serangan udara memiliki andil dalam serial ini, salah tafsir semacam ini masih terjadi. Pada akhirnya, saya pikir satu-satunya hal yang dapat dilakukan seorang pengkarya untuk menghindari salah tafsir adalah terus berbicara keras menentang perang.”
Uno menjawab bahwa ini mengingatkannya pada The Wind Rises, disutradarai oleh Hayao Miyazaki. Meskipun protagonisnya adalah perancang pesawat tempur Zero, dia tidak serta merta mendukung perang tetapi justru membahas soal keindahan pesawat. Dengan demikian, karakternya memiliki kontradiksi antara idealisme yang tinggi dan realitas senjata perang.
“Dalam diri individu, ‘aku benci perang’ dan ‘pesawat itu indah’ (dua pemikiran itu) bisa muncul berdampingan,” kata Uno. “Kompleksitas ini juga merupakan bagian dari apa yang membuat kita menjadi manusia.”
Dalam wawancara yang sama, Aisaka mengaku bahwa ia memiliki ketertarikan sebagai otaku militer meskipun kebencian pribadinya terhadap perang. Karena sebagian masyarakat yang tumbuh dari pengalaman hidup generasi yang lebih tua, lebih mudah untuk mengkotak-kotakkan perang dengan cara ini.
“Saya pikir pada saat ini mudah untuk mengalami kengerian perang melalui novel-novel hiburan,” katanya.
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Sumber: animenewsnetwork
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang
[blog_posts style=”default” columns__md=”1″ cat=”5055″ posts=”20″ excerpt=”false” show_category=”label” comments=”false” image_height=”100%”]