Orang-orang Kristen di Jepang pada abad ke-16 dan ke-17 disebut dengan Kirishitan. Kata tersebut berasal dari bahasa Portugis “cristão” yang berarti “Kristen”. Istilah ini juga sering digunakan untuk menggambarkan pengikut Kristen yang mengalami penganiayaan setelah larangan agama Kristen di Jepang. Masyarakat kirishitan memiliki budaya dan tradisi yang unik, menggabungkan elemen-elemen Kristen dengan budaya Jepang. Kekristenan Jepang modern dikenal sebagai Kirisuto-kyō.
Kedatangan Awal, Dukungan dan Penolakan Terhadap Kristen
Misionaris Kristen yang dipimpin oleh Francis Xavier memasuki Jepang pada tahun 1549, hanya enam tahun setelah kedatangan pedagang Portugis pertama, dan selama satu abad berikutnya, mereka berhasil mengkonversi ratusan ribu orang Jepang—mungkin setengah juta—ke dalam agama Kristen. Pengaruh para Jesuit, dan kemudian Fransiskan, sangat besar, dan pertumbuhan sekte baru ini menimbulkan ketakutan politik yang membantu memicu keputusan Jepang untuk mengecualikan semua pedagang asing kecuali Belanda, Cina, dan Korea.
Oda Nobunaga (1534–82) telah mengambil langkah pertamanya untuk menyatukan Jepang saat misionaris pertama tiba, dan seiring meningkatnya kekuasaannya, ia mendorong gerakan Kirishitan yang sedang berkembang sebagai cara untuk melemahkan kekuatan politik besar Buddha. Petani yang tertindas menyambut Injil keselamatan, tetapi pedagang dan daimyo yang sadar akan perdagangan, melihat Kristen sebagai jembatan penting dengan perdagangan Eropa yang berharga. Pengganti Oda, Toyotomi Hideyoshi (1537–98), bersikap jauh lebih dingin terhadap agama asing tersebut. Orang Jepang mulai menyadari adanya persaingan antara para Jesuit dan Fransiskan yang merupakan dua ordo dalam gereja Katolik, serta antara kepentingan perdagangan Spanyol dan Portugis. Toyotomi meragukan keandalan subjek yang memiliki loyalitas terhadap kekuatan asing di Vatikan. Pada tahun 1587, ia memerintahkan semua misionaris asing untuk meninggalkan Jepang, tetapi tidak memberlakukan titah tersebut dengan keras hingga satu dekade kemudian, ketika sembilan misionaris dan 17 Kirishitan lokal dijadikan martir.
Larangan, Persekusi, dan Kehidupan Tersembunyi
Setelah kematian Toyotomi dan masa pemerintahan singkat anak angkatnya, tekanan mulai mereda. Namun, Tokugawa Ieyasu, yang mendirikan shogunat Tokugawa yang besar (1603–1867), secara bertahap mulai melihat misionaris asing sebagai ancaman bagi stabilitas politik. Pada tahun 1614, melalui putra dan penggantinya, Tokugawa Hidetada, ia melarang Kirishitan dan memerintahkan pengusiran misionaris. Persekusi yang berat berlanjut selama satu generasi di bawah putra dan cucunya. Kirishitan diwajibkan untuk meninggalkan iman mereka dengan ancaman pengasingan atau penyiksaan. Setiap keluarga diwajibkan terdaftar di kuil Buddha, dan laporan berkala mengenai mereka diharapkan dari para pendeta kuil.
Pemberontakan pada tahun 1637–38 oleh komunitas Kirishitan di Semenanjung Shimabara hanya dapat dipadamkan dengan kesulitan, dan kegagalan akhirnya semakin memperkuat upaya untuk memberantas agama tersebut. Pada tahun 1650, semua Kirishitan yang dikenal telah diasingkan atau dieksekusi. Mereka yang selamat secara rahasia dipaksa untuk bersembunyi dalam gerakan rahasia yang dikenal sebagai Kakure Kirishitan (“Kristen Tersembunyi”), yang terutama ada di pulau Kyushu bagian barat sekitar Nagasaki dan Shimabara. Untuk menghindari deteksi, mereka terpaksa mempraktikkan kebohongan, seperti menggunakan gambar Perawan Maria yang disamarkan sebagai Bōsatsu (bodhisattva) Kannon yang populer dan penuh kasih, yang jenis kelaminnya ambigu dan sering kali digambarkan sebagai perempuan.
Kembalinya Kekristenan dan Warisan Budaya
Masyarakat umum tetap tidak menyadari bahwa Kakure Kirishitan berhasil bertahan selama dua abad, dan ketika larangan terhadap Katolik Roma mulai dilonggarkan lagi pada pertengahan abad ke-19, para misionaris Eropa yang tiba diberitahu bahwa tidak ada orang Kristen Jepang yang tersisa. Sebuah gereja Katolik Roma yang didirikan di Nagasaki pada tahun 1865 didedikasikan untuk 26 martir tahun 1597, dan dalam waktu kurang dari setahun, 20.000 Kakure Kirishitan melepaskan penyamaran mereka dan secara terbuka mengakuakan iman Kristen mereka. Mereka menghadapi beberapa penindasan selama tahun-tahun akhir shogunat Tokugawa, tetapi pada awal reformasi Kaisar Meiji (berkuasa 1867–1912), Kirishitan memperoleh hak untuk menyatakan iman dan beribadah secara publik.
Sekitar 14.000 orang Kristen yang telah lama bersembunyi menjalin hubungan dengan para misionaris Eropa dan menemukan jalan mereka ke dalam gereja Katolik Roma, tetapi sebagian besar lainnya tidak mau meninggalkan berbagai unsur Buddha dan elemen non-Kristen lainnya yang telah menyusup ke dalam tradisi Kakure Kirishitan selama dua abad pengasingan. Mereka, yang tidak lagi tersembunyi, kemudian dikenal sebagai Hanare Kirishitan, atau Kristen Terpisah.
Hari ini, umat Kristen Jepang bebas melakukan ibadah seperti pada umumnya. Bahkan telah berasimilasi dalam kehidupan bangsa Jepang modern. Seperti misalnya upacara pernikahan, banyak di antaranya mengadopsi pernikahan ala Kristen. Lalu juga hari besar Kristen seperti perayaan Natal yang dirayakan di seluruh Jepang. Dan tahun baru di Jepang yang biasanya jatuh pada musim semi, diganti menjadi tanggal 1 Januari seperti layaknya tahun baru umat Kristen.
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Sumber: britannica
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang