KATEGORI

Belum ada Produk di keranjang kamu, yuk cari produk incaran kamu di sini!

Review LOTR The War of the Rohirrim, Menampik Tudingan SJW di Middle Earth

Pada tanggal 13 Desember 2024, Warner Bros merilis film The War of the Rohirrim, spin-off terbaru dari waralaba raksasa Lord of the Rings dengan format animasi bergaya anime. Berlatar 183 tahun sebelum peristiwa di trilogi film LOTR, “The Lord of the Rings: The War of the Rohirrim” menceritakan nasib Helm Hammerhand, Raja Rohan yang legendaris. Serangan mendadak oleh Wulf, pemimpin Dunlending yang cerdik dan kejam yang ingin membalas dendam atas kematian ayahnya, memaksa Helm dan pasukannya untuk melakukan perlawan terakhir di benteng kuno Hornburg. Hera, putri Helm, berada dalam situasi yang semakin putus asa dan dia harus mengumpulkan tekad untuk memimpin perlawanan terhadap musuh yang mematikan yang ingin menghancurkan mereka sepenuhnya.

Di film ini, kita diajak untuk masuk kembali ke dalam dunia Middle Earth yang penuh magis. Setelah Ring of Powers yang banyak dikritik banyak orang, The War of the Rohirrim membawa kita bernostalgia dalam balutan animasi indah bergaya anime. Ada banyak sekali hal familiar yang bisa disadari oleh penggemar Lord of the Rings. Padang dataran khas Rohan digambarkan dengan sangat indah, makhluk-makhluk fantasi juga dimunculkan dengan tingkat detail luar biasa, sebut saja Mumakil, gajah yang muncul di film pamungkas Returns of the King berhasil digambarkan dengan sangat menyeramkan tanpa terkekang batasan CGI. Kastel Helm’s Deep yang menjadi latar utama film ini juga memberikan kita nuansa yang familiar dan sangat berlatar fantasi medieval. Desain karakter dan desain kostumnya juga sangat memanjakan pecinta fantasi medieval, detail khusus yang diberikan untuk jenis baju kasual, zirah perang dan outfit kaum barbar Dunlending sama sekali tidak mengecewakan. Tidak ketinggalan lagu memukau dan bgm lama yang diaransemen ulang membuat penonton merasa sangat dekat dengan Lord of the Rings dan vibe fantasi medieval.

The War of the Rohirrim mengambil inspirasi dari kisah Appendiks di novel novel Lord of the Rings dengan pengembangan kreatif agar ceritanya bisa dipresentasikan lebih seru dan dramatis – karena Appendiks aslinya hanya berisi tiga halaman yang menceritakan garis besar perang antara Helm Hammerhand melawan Wulf, sang pemimpin Dunlending. Kisah epik ini juga akan menorehkan sejarah penamaan kastel Helm’s Deep yang menjadi latar film kedua dari trilogi originalnya, The Two Tower. Dramatisasi khas anime juga muncul di film ini, yang untungnya hanya muncul di momen-momen tertentu dan vital, sehingga tidak sampai pada titik lebay. Hal ini secara efektif membuat penonton yang sudah terbiasa menonton anime akan bisa dengan mudah relate kepada film ini tapi juga tidak serta merta mengalienasi penonton awam. Adegan pertarungannya meski terkadang terasa kaku di beberapa bagian, tapi juga bisa membuat kita menahan nafas karena presentasinya yang apik.

The War of the Rohirrim memberi penekanan yang sangat kuat dengan tema keluarga dari kedua belah pihak. Helm Hammerhand digambarkan sebagai seorang raja yang sangat kuat dan percaya diri tapi juga seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Keputusan-keputusan yang diambil Helm di film ini semuanya bermuara pada dualitas identitasnya sebagai Raja dan Ayah. Akar masalah dari film ini juga hadir dari balas dendam Wulf kepada Helm yang telah merenggut ayahnya. Emosi negatif yang sangat kuat mendorong Wulf untuk melakukan segala cara agar Helm bisa merasakan persis seperti yang dia rasakan. Hera, terjebak di antara keduanya, yang akan menjadi highlight dari kisah ini.

TITIP JEPANG - The War of Rohirrim

Hera, karakter utama dalam film ini banyak ditakutkan akan menjadi propaganda SJW dan woke culture. Seakan menampik tuduhan itu, alih-alih menjadikan Hera sebagai heroine serba bisa, kita malah diperlihatkan betapa tak berdayanya dia di tengah kemelut perang antara ayahnya dan teman masa kecilnya. Sebenarnya, perlakuan Hera dalam film ini lebih ke sudut pandang cerita dibandingkan pusat cerita. Penonton diajak melihat bagaimana seluruh kejadian di The War of the Rohirrim melalui sudut pandang Hera. Helm Hammerhead malah lebih terasa sebagai karakter utama cerita dibandingkan Hera, melihat betapa dominannya dia digambarkan dalam kisah keseluruhan. Untungnya, filmnya tak pernah lupa akan peran Hera sebagai narator cerita, film ini tak pernah beralih dari Hera di tengah keheroikan Helm dan antogonisme yang kuat dari Wulf.

Seakan meludahi tuduhan woke dan SJW, penonton diperlihatkan bagaimana Hera yang di awal disematkan predikat “kuat, liar, tak terkendali” berevolusi menjadi pribadi yang layak disebut “Raja.” Hera tak pernah diperlihatkan terlalu jagoan sehingga bisa mengalahkan puluhan musuh sendirian. Sentimen Hera terhadap posisinya sebagai seorang putri pun datang dari perlakuan overprotective Helm karena dia adalah “anak gadisnya.” Salah satu penekanan dari film ini adalah soal bagaimana Hera memahami posisinya sebagai seorang Putri Raja dan tugas apa yang hadir dengan posisi tersebut. Seakan ingin mengritik lebih jauh, pemilihan gaun perang yang dipakai Hera di penghujung perang juga ingin menunjukkan bahwa dengan segala sentimen tradisional, perempuan masih dan tetap bisa berjaya.

TITIP JEPANG - The War of Rohirrim

Film The War of the Rohirrim sangat layak tonton untuk para pecinta film trilogi Lord of the Rings karena memberikan vibe yang sangat mirip, baik dari lansekap, suasana bahkan cara penuturannya yang cenderung sendu. Untuk pecinta kisah fantasi medieval juga sangat layak tonton, terlebih untuk Titipers yang juga suka nonton anime. Jangan lewatkan untuk menonton The War of the Rohirrim, Titipers akan disihir untuk masuk ke dunianya yang fantastis nan dramatis.

Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^

Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang