KATEGORI

Belum ada Produk di keranjang kamu, yuk cari produk incaran kamu di sini!

Tanda Batas Makan 20 Menit di Ramen Jiro Tuai Kecaman

Cabang Ramen Jiro di Fuchu meminta maaf setelah aturan baru tersebut memicu reaksi keras.
Tanda Batas Makan 20 Menit di Ramen Jiro Tuai Kecaman

Sebuah papan kecil bertuliskan “Harap selesaikan makanan Anda tidak lebih dari 20 menit” yang dipasang di atas mesin tiket di cabang Ramen Jiro Fuchu, Tokyo, pada 4 Juli lalu, mendadak memicu reaksi keras dari para penggemar ramen di Jepang. Imbauan tersebut, yang secara teknis mengatur waktu makan pelanggan, segera memicu perdebatan sengit di media sosial Jepang dan memunculkan pertanyaan lebih luas: seberapa cepat seharusnya seseorang menikmati semangkuk ramen?

Di sebagian besar restoran cepat saji, permintaan seperti ini mungkin takkan memicu perbincangan panjang. Namun Jiro bukan sembarang restoran. Didirikan pada tahun 1960-an, Ramen Jiro telah menjelma menjadi ikon kuliner Jepang dengan pengikut fanatik yang menyebut diri mereka “Jirorian”. Restoran ini dikenal dengan porsinya yang sangat besar, sistem pemesanan yang membingungkan, dan atmosfer yang lebih mirip barak militer daripada tempat makan biasa. Menghabiskan satu mangkuk Jiro sering kali dianggap sebagai ujian ketahanan, bukan sekadar santapan. Karena itu, batas waktu makan 20 menit langsung dianggap oleh banyak orang sebagai langkah yang tidak hanya tidak praktis, tapi juga tidak menghormati pengalaman bersantap yang selama ini dihargai oleh para pelanggan setia.

Reaksi penolakan bermunculan di media sosial tak lama setelah tanda tersebut diunggah ke akun resmi cabang. Banyak yang menyebut kebijakan itu “bermusuhan”, “merendahkan”, hingga “membuat toko terasa menakutkan.” Kritikus menilai aturan tersebut seolah mengubah restoran menjadi jalur perakitan makanan, tempat pelanggan harus cepat-cepat mengosongkan kursi alih-alih menikmati rasa. Beberapa bahkan menyindir bahwa papan pengumuman itu cocok untuk acara lomba makan, bukan untuk menikmati ramen yang terkenal kompleks dan berat.

Selain nada kebijakannya yang dianggap kasar, ketidakpraktisan batas waktu juga menjadi sorotan. Porsi standar Ramen Jiro bisa mencapai 300 gram mi dan lebih dari 1.600 kalori—tantangan yang serius bahkan bagi pelanggan berpengalaman sekalipun. Memaksakan batas 20 menit pada sajian sebesar itu dirasa tidak masuk akal. Para penggemar menyebut bahwa bagian dari kenikmatan makan ramen adalah menikmati ritme menyeruput yang tak terburu-buru dan meresapi rasa kuah yang kaya.

Namun, tidak semua suara menolak. Sejumlah pelanggan setia justru membela kebijakan tersebut, menyebut bahwa Jiro selalu beroperasi dengan tempo yang cepat. Seorang pelanggan tetap bahkan menyebut, “Jika Anda tidak tahan dengan temponya, jangan datang.” Pandangan ini mencerminkan budaya tak tertulis yang selama ini berlaku di antara kalangan Jirorian, di mana disiplin dan ketahanan dianggap sebagai bagian dari ritual makan.

Setelah menuai kritik luas, cabang Fuchu akhirnya mengeluarkan permintaan maaf pada 7 Juli. Pihak restoran menyatakan bahwa mereka “salah menilai nada bicara” dan mengakui bahwa papan tersebut membuat tempat mereka terlihat “menakutkan” dan “otoriter”. Papan pun segera dicabut dan unggahan media sosial dihapus. Pemilik toko juga mengumumkan bahwa ke depan, semua komunikasi resmi akan dikendalikan langsung oleh manajemen, bukan oleh staf biasa.

Pemberitahuan tertulis di toko, unggahan di media sosial, dan pilihan bahasa yang tegas dalam membalas telah memberikan kesan yang keliru bahwa kami adalah restoran yang penuh tekanan dengan atmosfer yang mengintimidasi,” demikian pernyataan tersebut. “Kami mohon maaf dan sangat menyesalkan berbagai hal yang telah menyebabkan tekanan dan ketidaknyamanan bagi pelanggan kami dan orang lain yang terhubung dengan restoran kami.”

Insiden ini memperlihatkan betapa kompleks dan emosionalnya budaya makan ramen di Jepang. Lebih dari sekadar mi dalam kuah panas, ramen adalah simbol kenyamanan dan keterhubungan pribadi bagi banyak orang. Bahkan bagi tempat ekstrem seperti Ramen Jiro, garis antara efisiensi dan pengalaman bersantap tetap harus dijaga. Karena bagi para pelanggan yang rela antre demi semangkuk Jiro, makan ramen bukanlah soal kecepatan, tapi tentang menghormati setiap seruput rasa yang telah menjadi bagian dari ritual makan mereka.

Sumber: tokyoweekender, soranews24

Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^ 

Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang