KATEGORI

Belum ada Produk di keranjang kamu, yuk cari produk incaran kamu di sini!

[REVIEW FILM] THE BATMAN, FILM BATMAN YANG PALING BATMAN!

Film The Batman yang sudah dinanti-nanti fans seantero dunia akhirnya rilis juga. Batman memang karakter yang mendunia dan punya banyak sekali fans, mulai dari penggemar komik hingga orang awam. Bahkan sampai ada salah satu instalmen dari franchise film animasi dengan judul Batman Japan yang absurd dan fun itu!

The Batman sendiri dari awal pencetusannya penuh dengan kontroversi, mulai dari pemilihan cast hingga beban berat Matt Reeves selaku sutradara yang dibayang-bayangi The Dark Knight dan Ben Affleck yang banyak dipuji fans sebagai inkarnasi Batman yang “komik banget”. Pemilihan Robert Pattinson juga banyak menuai cibiran karena bayang-bayang franchise Twilight, belum lagi soal Jim Gordon yang kena blackwashing. Nah, apakah The Batman berhasil menampar segala cibiran itu atau malah jatuh terjerembab di kubangan hujatan? Mari kita kupas tuntas film terbaru dari sang Caped Crusader ini.

 REBOOT LAGI? 

Di tengah gempuran film-film superhero yang saling tersambung di satu semesta, keputusan DC untuk lagi-lagi me-reboot Batman sebagai film stand alone yang lepas dari DCEU banyak membuat fans kecewa. Harus diakui Batman memang sapi perah dari DC dan Warner Bros, tapi kehadiran Ben Affleck sebagai Batman membuat fans mendambakan Batman yang bersinggungan dengan karakter-karakter DC lain. Reboot yang kesekian kali ini dan pendekatan realisme grounded yang diusung membuat fans skeptis kalau The Batman hanya akan menjadi carbon copy dari trilogi The Dark Knight garapan Christopher Nolan. Akan tetapi yang membuat fans Batman tertarik adalah bahwa film ini dijanjikan akan menekankan ke unsur detektif yang belum pernah diangkat dengan baik ke layar lebar oleh film Batman mana pun. Penulis pribadi menonton film ini dengan harapan besar akan bisa menonton sosok Batman sebagai the world’s greatest detective.

Untungnya Matt Reeves berhasil menyajikan reboot Batman ini dengan mengejutkan. Dia berhasil menjadikan The Batman berbeda dari semua film Batman yang pernah tayang. Reeves secara brilian sukses mempresentasikan sisi detektif Batman dan mitologi Batman yang tidak pernah disuguhkan oleh para pendahulunya. Alih-alih membawa Batman ke dunia kita, dia malah mewujudkan dunia Batman ke layar lebar. Orang gila macam apa yang datang ke TKP memakai jubah tanpa malu-malu dengan dikelilingi polisi? Ya, orang macam itu cuma ada di dunia Batman.

Secara karakter, Batman di film ini adalah inkarnasi Batman yang paling dekat dengan komiknya dalam hal psikologi dan karakteristik. Dari segi cerita dan presentasi film, The Batman sukses membawakan cerita origin dari Batman sebagai seorang detektif andal. Aura thriller dan noir yang kental, lebih banyak fokus ke dialog dan petunjuk untuk kasus yang sebenarnya lebih besar dari yang disajikan. Secara mitologi, Reeves juga berhasil menggambarkan apa yang gagal dilakukan oleh para pendahulunya, yaitu Gotham.

Titip Jepang-The Batman

Gotham City di animasi Long Halloween, gambar dari : peakpx.com

 GOTHAM, THE LIVING CITY 

Matt Reeves pernah menjanjikan kalau dia akan menyajikan Gotham sebagai suatu karakter, bukan hanya sekedar kota. Dalam mitologi Batman, kehidupan sang Pelindung Gotham memang tidak bisa dilepaskan dari kota fiktif ini. Gotham adalah bagian integral dari mitologi Batman, dia bukan hanya berfungsi sebagai kota, tapi juga mengasah kehidupan Bruce Wayne menjadi vigilante seperti yang kita kenal. Gotham selalu digambarkan sebagai kota yang menelan penghuninya ke dalam kegelapan, tidak bisa lari tapi juga enggan untuk pergi. Gotham adalah sebuah kota yang sangat mencekam, bukan sekedar gelap tapi juga seram. Hal ini yang tidak pernah digambarkan dengan baik oleh adaptasi-adaptasi Batman sebelumnya, bahkan serial TV berjudul Gotham sekalipun. Kebanyakan terlalu sibuk menggubah para villain dan Batman sendiri tapi alpa menggarap karakterisasi Gotham. Di film ini, Gotham dipresentasikan sebagai karakter yang punya masa lalu kelam dan masa depan suram. Setiap sudutnya terasa menyeramkan dan mengancam, rasa was-was penonton setiap ada shoot yang menyorot kegelapan sangat terasa. Terbantu dengan scoring yang tepat guna di setiap adegannya, nuansa Gotham yang tidak menyenangkan tergambarkan dengan nyata.
[ux_products columns=”5″ equalize_box=”true” ids=”97801,97811,97824,97835″]

 BATTINSON, THE WORLD’S GREATEST DETECTIVE? 

Pemilihan Robert Pattinson sempat menuai kontroversi panas, mulai dari dianggap tidak cocok karena dulu pernah bermain di Twilight hingga posturnya yang cenderung kurus. Sebenarnya bukan Pattinson yang kurus, tapi Affleck yang terlalu bulky makanya terasa jomplang banget. Di sini Pattinson membuktikan kalau dia adalah aktor dengan kualitas akting bukan kaleng-kaleng. The Batman sangat bertumpu pada kualitas akting para pemerannya karena dialognya yang minim dan lebih banyak memanfaatkan ekspresi aktor untuk memperkuat nuansa film. Ditambah hampir 80% screentime-nya malah sebagai Batman, bukan Bruce Wayne, praktis dia dituntut berakting maksimal hanya dengan gesture tubuh, lirikan mata dan gerak bibir. Dan semua itu bisa disuguhkan dengan luar biasa. Penonton bisa merasakan auranya yang bingung, marah, emosional dan depresi. Ketika dia melepas cowl malah menjadikan efek brooding-nya jauh lebih terasa, sangat efektif. Pattinson adalah sosok Batman yang berhasil melahap filmnya, bukan termakan oleh jajaran villain yang juga tak kalah apiknya.

Gelar the world’s greatest detective adalah gelar yang disematkan pada Batman di komik. Bahkan Ra’s Al Ghul pun memanggilnya dengan sebutan Mr. Detective. Itu artinya kualitas kecerdasan nalar logika Batman sebenarnya ada di atas rata-rata, terlebih kemampuannya dalam memecahkan misteri. Di film ini, kita diperlihatkan Batman yang dituntut memecahkan sebuah kasus besar sepanjang film. Di sini terlihat kalau dia masih belum terlalu expert, tapi juga tidak membuat dia terlihat bodoh karena Riddler yang memang digambarkan kelewat jenius. Batman masih harus dituntun oleh Riddler untuk memecahkan misteri. Kita ditunjukkan Batman yang masih belum terlalu matang dalam hal detektif tapi juga bukan amatiran. Nuansa genre detektif-thriller berhasil ditunjukkan lewat petunjuk-petunjuk yang disebar di sepanjang film, kemudian bermuara pada klimaks pengungkapan yang ala-ala cerita detektif. Ketegangannya juga terbangun dengan baik lewat tone film merah gelap dan scoring mencekam, di beberapa bagian malah lebih terasa horor dibandingkan thriller.

Soal adegan laga semuanya disajikan secara tepat guna, sesuai porsi dan tujuan. Berhadapan dengan Riddler yang ahli strategi tentu tidak bisa dengan otot, karena itu setiap adegan aksi di sini dipoles untuk menegaskan karakterisasi Batman alih-alih digunakan untuk melawan Riddler. Batman yang terlalu mengandalkan kekerasan untuk menebar ketakutan ternyata kesusahan menghadapi Riddler yang mengandalkan otak adalah sentuhan yang pas dan seusai dengan tema besar film ini. Pada akhirnya film ini lebih terasa seperti origin Batman sebagai the world’s greatest detective. Dia dipaksa untuk mengasah otaknya, berkali-kali salah dan meleset sebelum akhirnya menemukan the bigger picture adalah rumus kunci film detektif. Film ini juga tak malu mengakui betapa belum matangnya Batman dalam dialog pamungkas di penghujung film bersama Riddler.

[ux_products columns=”5″ equalize_box=”true” ids=”97881,97894,97933,97904,97922″]

 VILLAINNYA ADA TIGA? EMPAT? NGGAK SALAH TUH? 

Film superhero yang memiliki banyak villain biasanya berujung pada kekacauan pembagian porsi dan kualitas cerita. Biasanya antara menjadi tempelan saja atau malah karakterisasinya kacau dan akhirnya menjadi villain yang terlupakan. The Batman menghadirkan empat villain! Ada Riddler, Catwoman, Penguin dan Falcone. Ada juga Salvatore Maroni yang selalu disebut-sebut, sosoknya tidak ada tapi menghantui sepanjang film. Luar biasanya adalah semua villain ini tidak mendapatkan porsi adegan yang sama banyak, tapi semuanya punya tujuan dan kepentingan yang jelas di dalam cerita, bahkan sebagian malah berevolusi. Selina yang ternyata menyimpan rahasia pahit dan berbelok menjadi sekutu. Penguin yang terlihat dibangun untuk jadi sosok besar ke depannya. Falcone dengan keberadaannya yang masif dan menjadi benang merah penghubung semuanya. Terakhir, Riddle sebagai villain utama yang sangat menyusahkan Batman dan memiliki motivasi serta tujuan yang meyakinkan sebagai seorang villain.

Didukung dengan kualitas akting optimal dari para pemeran, para villain yang muncul dalam The Batman jauh dari kesan forgettable. Karakterisasi para villain sangat on point dengan counterpart mereka di komik. Penguin yang terkesan remeh tapi menyimpan ambisi besar. Falcone yang berwibawa, licik dan kejam demi mempertahankan hegemoni kekuasannya. Riddler yang cerdas, suka bermain-main dan… narsis. Selina yang sensual, flirty kepada Batman dan emosional di saat-saat tertentu. Banter-nya dengan Batman itu seakan-akan keluar dari komik. Ya seperti ini Selina di komik! Seperti ini hubungan on-off Batman-Catwoman. The Bat & The Cat! Praise the casts and Matt Reeves!

 ALFRED DAN JIM GORDON 

Jauh sebelum ada Robin, Alfred Pennyworth dan Jim Gordon bisa dibilang adalah sidekick utama Batman di komik. Alfred dibutuhkan untuk membantu urusan internal Batman, sedang Gordon ada untuk membantu di urusan eksternal. Dan ya, peran mereka berdua di film ini persis seperti itu. Alfred secara brilian berperan sebagai mentor sekaligus jangkar moral Bruce Wayne, selalu ada kapan pun dibutuhkan dan mengucapkan hal-hal yang tidak ingin didengar Bruce, mengingatkannya agar terus berpijak di dunia. Dia juga berfungsi sebagai penopang Bruce di saat-saat terlemahnya dan sebisa mungkin ingin menjadi “pengganti orang tua” Bruce Wayne, menjadikannya sosok yang tak tergantikan baik untuk Bruce Wayne maupun Batman. Jim Gordon selalu membantu Batman dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul di Gotham, bukan karena dia suka, tapi karena tak ada pilihan lain. Ya, Gotham memang sekorup itu sehingga polisi jujur butuh bantuan orang gila bertopeng untuk menegakkan keadilan. Relasi layaknya buddy cop di film ini menguatkan tema investigasi ala cerita-cerita detektif kebanyakan.

[ux_products columns=”5″ equalize_box=”true” ids=”97799,97954,97961,97969″]

 BATMAN KOK PUITIS? 

Komik Batman itu umumnya puitis, penuh monolog yang menggambarkan keadaan dirinya atau kotanya. The Batman berhasil menerjemahkan elemen ini baik lewat monolog Bruce Wayne, dialog antar tokoh dan bahkan shoot-shoot indah dengan tone yang tepat. Banyak sekali adegan penuh nuansa merah kelam yang indah, kegelapan difungsikan dengan optimal sebagai persona teror Batman, bukan hanya sekedar stylish. Bahkan adegan tarungnya juga bisa begitu puitis dengan menekankan ke kemarahan Bruce terhadap esensi kriminal di Gotham yang dia anggap bertanggung jawab atas terbunuhnya kedua orang tuanya. Dialog-dialog dan gesture dengan Selina juga dirangkum dengan hangat, intense dan berujung sendu. Iya, Batman di komik memang sepuitis ini.

 SURAT CINTA UNTUK FANS BATMAN 

The Batman memang adalah surat cinta dari Matt Reeves untuk para fans Batman, terlebih untuk mereka yang menikmati Batman dari berbagai medium mulai dari komik, game hingga filmnya. Banyak sekali referensi-referensi dari medium lain yang bukan hanya di adegan saja tapi juga substansi ceritanya. Sebutlah Long Halloween, baik animasi maupun komik, Batman Year One, Earth One, Zero Year, No Man’s Land, sedikit sentilan soal Hush, game Batman Telltale, film animasi Mask of Phantasm dan masih banyak lagi referensi yang bisa dirasakan oleh para fans Batman. Kalau boleh dibilang kekurangan, mungkin karena durasi yang nyaris menyentuh tiga jam dan banyak fokus ke sisi misteri, akan terasa membosankan dan agak sulit diikuti oleh sebagian orang. Tapi sekali bisa mengikuti jalinan misteri yang disajikan, you are in for a wonderful treat! Sekali lagi, The Batman adalah surat cinta untuk seluruh fans Batman di luar sana. Ini adalah film yang tidak terbebani apa pun selain ingin menceritakan sebuah kisah tentang Batman yang utuh. Tentang esensi menjadi Batman dan konsekuensi seorang Batman. Film yang indah, penuh estetika sinematik, puitis yang dibalut dengan teka-teki, kekerasan dan kasih sayang plus sedikit bumbu horor. Angkat topi untuk Matt Reeves.

[ux_products columns=”5″ equalize_box=”true” ids=”97801,97811,97824,97835,97852,97864,97873″]

Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^

Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang