Apakah Ada Mitos Banjir Bandang di Jepang?
Banjir bandang mendadak menjadi topik hangat yang dibicarakan para animanga lovers di Indonesia setelah chapter 1113 dari manga One Piece dirilis. Pasalnya chapter tersebut mengungkapkan sebuah teori lama tentang dunia yang akan dilanda oleh banjir bandang. Di dunia nyata, bencana banjir bandang merupakan salah satu bencana alam yang diakibatkan curah hujan lebat dengan intensitas tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), banjir bandang berarti banjir besar yang datang dengan tiba-tiba dan mengalir deras menghanyutkan benda-benda besar (kayu dan sebagainya). Banjir bandang atau yang kerap disebut sebagai air bah ini acap kali menyebabkan kerusakan pada lingkungan terdampak, Banyak mitos banjir bandang yang berkembang di setiap bangsa yang dituangkan ke dalam dongeng, legenda, bahkan prasasti. Simak pembahasan di bawah ini untuk mengetahui beberapa mitos banjir bandang dari beberapa belahan dunia.
BACA JUGA: Cara Mengatasi Musim Salju Lebat Ala Jepang, No.4 Bisa Menjadi Rekomendasi Dekorasi Rumay Yang Menawan di Semua Musim
BACA JUGA: Bagaimana Cara Masyarakat Jepang Menghadapi Badai Tornado di Jepang?
BACA JUGA: 5 Mitos di Jepang yang Masih Dipercaya Sampai Sekarang
MITOS BANJIR BANDANG DI DUNIA
Babylonia
Dalam Epos Gilgames di Babylonia terdapat rujukan yang menyebutkan tentang air bah (banjir bandang). Sang pahlawan, Gilgames, yang mencari keabadian, mencari Utnapishtim di Dilmun, sejenis taman firdaus surgawi. Utnapishtim menceritakan bagaimana Dewa Ea memperingatkan dia tentang rencana para dewata untuk menghancurkan seluruh kehidupan melalui bencana air bah dan memerintahkannya untuk membangun sebuah kapal yang dapat digunakannya untuk menyelamatkan keluarganya, teman-teman, dan kekayaan serta ternaknya. Setelah air bah datang, para dewata menyesali tindakan mereka dan menjadikan Utnaspishtim abadi.
Akkadia
Epos Atrahasis dari Akkadia menjelaskan over populasi manusia di bumi yang menjadi penyebab utama air bah datang. Setelah 1200 tahun kesuburan manusia berlangsung, dewa Enlil yang merasa terganggu dari tidurnya karena kebisingan dan hiruk pikuk yang disebabkan oleh penambahan populasi manusia, meminta tolong kepada himpunan para dewa untuk mengirimkan wabah, kekeringan, kelaparan, tanah yang asin, dan lain sebagainya untuk mengurangi jumlah populasi manusia. Namun, semua upaya tersebut hanya berfungsi sesaat karena manusia kembali bertambah seperti semula setelah bencana tersebut usai. Sebagai upaya terakhir, para dewa memutuskan untuk mengirimkan air bah dengan penanggung jawabnya adalah dewa Enki, yang segera memberitahukan rencana tersebut kepada Atrahasia, yang kemudian membangun kapal penyelamat, sepertu yang telah diceritakan dalam Epos Gigames milik Babylonia sebelumnya.
Untuk mencegah dewa-dewa lain mengirimkan bencana lain yang destruktif. Enki lantas menciptakan sebuah solusi baru dalam gejala sosial, di mana terdapat perempuan-perempuan yang tidak menikah, kemandulan, keguguran, dan kematian sebagian bayi, guna mengendalikan pertambahan penduduk.
Ibrani
Sedangkan bangsa Ibrani mencatat bencana alam ini ke dalam dua kitab, kitab kejadian dan juga kitab Henokh pertama.
Dalam kitab kejadian disebutkan bahwa masyarakat bumi di kala itu telah menjadi jahat dan penuh dengan kekerasan. Tuhan yang menyesal karena telah menciptakan manusia lantas memutuskan untuk mengirimkan air bah demi menghapus semua kejahatan tersebut. Dia hanya menemukan satu orang di muka bumi yang layak diselamatkan, dialah Nuh. Tuhan menyuruh Nuh untuk membangun sebuah bahtera dengan ukuran dan rancangan tertentu dan membawa ke dalamnya istri dan ketiga anak lelakinya, Sem, Ham, dan Yafet beserta istri-istri mereka, serta binatang-binatang dan burung-burung yang tidak haram sebanyak 7 pasang dan sepasang binatang-binatang haram, dengan makanan yang dibutuhkan serta benih sehingga manusia dan bumi dapat memulai lembaran baru.
Setelah bencana usai, Nuh mempersembahkan kurban dari binatang-binatang yang tidak haram dan Tuhan berjanji tidak akan menghancurkan bumi lagi melalui air bah karena manusia pada hakikatnya diciptakan dengan kecenderungan untuk berbuat jahat, Tuhan kemudian memberikan peraturan baru di mana manusia diberikan kekuasaan atas segala binatang dan diizinkan untuk memakan daging dengan syarat tidak bersama nyawanya. Manusia juga diperintahkan untuk menyebar di muka bumi, tetapi dengan sebuah hukum yang baru, yakni bila seseorang menumpahkan darah orang lain, maka darahnya sendiri pun harus ditumpahkan. Tuhan menggunakan pelangi di awan-awan untuk memeteraikan dan mengingatkan generasi yang akan datang tentang perjanjian ini. Hal ini yang kemudian dikenal sebagai Tujuh Perintah Tuhan.
Sementara dalam Kitab Henokh pertama diceritakan bahwa Tuhan mengirimkan air bah untuk menyingkirkan Nefilim – anak-anak raksasa dari kaum Grigori dan manusia perempuan – dari muka bumi.
Yunani
Benua Eropa memiliki ceritanya sendiri, seperti Yunani yang mengenal dua jenis air bah yang mengakhiri zaman manusia. Pertama, air bah Ogigian yang terjadi pada masa Ogiges – masa pemerintahan Raja Thebes. Banjir ini menutupi seluruh dunia, menghancurkan dan membawa negara tersebut kepada zaman di mana tidak ada raja.
Air bah kedua dikenal sebagai air bah Deukalion yang dikisahkan oleh Apollodorus dalam The Library. Kisahnya mengandung kesamaan seperti kisah dari negara-negara Timur sebelumnya di mana Promotheus menasehati anaknya, Deukalion, untuk membangun sebuah peti. Semua orang tewas kecuali beberapa orang yang menyelamatkan diri ke gunung-gunung yang tinggi, Gunung-gunung diceritakan terbelah, dan seluruh dunia di luar Isthmus dan Peloponnnesos tenggelam. Deukalion dan istrinya Pyrrha terapung-apung di peti itu selama sembilan hari sembilan malam dan mendarat di Parnassus.
Sebuah versi yang lebih tua mengisahkan bahwa “bahtera” Deukalion mendarat di sebuah puncak yang diperkirakan adalah Phouka di Argolis, yang belakangan disebut sebagai Nemea. Ketika hujan berhenti, ia memberikan kurban kepada Zeus. Lalu, atas perintah Zeus, ia dan Pyrrha melemparkan batu-batu ke belakangnya, yang berubah menjadi sepasang manusia. Appollodorus menyebut hal ini sebagai aitologi untuk kata Yunani “laos” (rakyat).
Ada spekulasi yang mengatakan bahwa sebuah tsunami hebat di laut Mediterania disebabkan oleh ledakan Thera yang terjadi secara geologis pada sekitar 1630-1600 SM yang kemudian berkembang menjadi mitos Deukalion. Sementara, Plato menceritakan air bah sebagai “banjir besar semua” dan “kehancuran hebat Deukalion” dalam Timaeus dan Kritias. Teks-teks lain di dalamnya juga melaporkan bahwa “banyak banjir besar yang terjadi selama sembilan ribu tahun” karena Athena dan Atlantis sangat menonjol.
Suku Aztek
Banyak cerita tentang banjir bandang yang diceritakan secara turun temurun di Suku Aztek, yang sayangnya tidak banyak yang bisa diakui keakuratan dan otensitasnya. Satu cerita yang terkenal tertuang dalam dokumen Aztek Kuno bernama Codex Shimalpopoca seperti berikut:
Ketika Zaman Matahari datang, 400 tahun telah berlalu. Lalu datanglah masa 200 tahun, kemudian 76 tahun, Lalu seluruh umat manusia hilang dan tenggelam serta berubah menjadi ikan. Air dan langit menjadi berdekatan. Dalam satu hari semuanya lenyap dan Empat Bunga menelan seluruh tubuh kita. Gunung-gunung ditelan banjir datang. Titlachahuan telah memperingatkan Nota sang manusia dan istrinya Nena, sambil berkata. “Jangan lagi membuat pulque, tetapi lubangilah bagian tengah pohon cypress yang besar, dan engkau harus masuk ke dalamnya pada bulan Tozoztli. Air akan naik hingga dekat ke langit.” Mereka masuk dan ketika Titlacahuan menutup mereka di dalamnya, ia berkata kepada lelaku itu, “Engkau hanya boleh memakan sebatang jagung, demikian pula dengan istrimu”. Dan ketika masing-masing dari mereka telah memakan sebatang jagung, mereka bersiap-siap untuk terus berjalan karena airnya tenang.
Catatan: Banyak terjemahan dari suku Aztek yang kontroversial dikarenakan sumber yang tidak dipercaya dan tidak adanya bukti yang menguatkan.
Suku Inka
Dalam mitologi Inka, Viracocha menghancurkan raksasa-raksasa dengan sebuah air bandang dan dua orang kemudian mengisi kembali populasi bumi. Uniknya, mereka selamat dalam gua-gua yang disegel.
Suku Maya
Dalam mitologi Maya, diceritakan dalam bagian 1 bab 3 Popol Vuh, Huracan sang dewa angin dan badai menyebabkan air bah (berupa cairan pohon yang dapat terbakar) setelah menusia-manusia pertama (yang terbuat dair kayu) membangkitkan kemarahan dewata (karena tidak mampu menyembah mereka). Ia konon hidup di dalam embun berangin di atas air banjir dan berbicara “bumi” hingga tanah muncul lagi dari lautan.
Cerita tentang ari bah berlanjut dalam bagian 3 bab 3 dan 4 Popol Vuh yang menceritakan empat pasang manusia memenuhi kembali dunia Quiche setelah air bah surut, mereka berbicara dengan bahasa yang sama dan berkumpul bersama di lokasi yang sama di mana mereka kemudian mengubah bahasa mereka dan berpencar ke seluruh dunia.
Tiongkok
Ada banyak sumber tentang mitos banjir bandang dalam literatur Tionghoa. Sebagian tampaknya merujuk kepada air bah di seluruh dunia.
Cerita Klasik tentang Gunung dan Lautan menyebutkan penguasa Tiongkok Da Yu, yang selama sepuluh tahun pemerintahannya berusaha mengendalikan banjir bandang yang “meluap [hingga ke] langit”
Shujing atau Kitab Sejarah menyatakan dalam bagian pembukaannya bahwa Kaisar Yao sedang menghadapi masalah dengan air bah yang mencapai ke Surga. Ini adalah latar belakang dari campur tangan Da Yu yang terkenal, yang berhasil mengendalikan banjir. Begitu banjir mereda, Da Yu mulai membangun kembali peradaban Tiongkok dari bawah.
Catatan Sejarah Agung, Chuci, Liezi, Huainanzi, Shuowen Jiezi, Siku Quanshu, Songsi Dashu, dan lain-lain, merujuk kepada seseorang bernawa Nuwa. Nuwa pada umumnya digambarkan sebagai seorang perempuan yang memperbaiki langit yang rusak setelah air bah atau bencana. dan kembali memenuhi dunia dengan manusia.
Sementara, peradaban Tiongkok kuno yang terpusat pada tepi Sungai Kuning dekat kota Xi’an sekarang juga percaya bahwa banjir parah yang pernah terjadi di sepanjang tepi sungai itu disebabkan oleh naga-naga yang hidup di sungai yang marah akibat kesalahan manusia.
India
Sementara menurut Matsyapurana dan Shatapatha Brahmana (I-8, I-6). mantri dari raja Dravida, Satyabrata yang juga dikenal sebagai Raja Manu sedang mencuci tangannya di sebuah sungai ketika seekor ikan kecil masuk ke tangannya dan memohon kepadanya untuk menyelamatkan nyawanya. Ia meletakkan ikan itu di sebuah bejana, yang tak lama kemudian menjadi terlalu kecil untuknya. Namun, semakin lama ikan itu menjadi semakin besar sampai Manu harus membawanya ke samudera. Ia lantas terkejut mendapati bahwa ikan tersebut merupakan jelmaan dari dewa Wisnu.
Sebagai imbalan atas kebaikannya, dewa Wisnu memperingatkannya bahwa banjir bandang yang akan menghancurkan seluruh kehidupan akan terjadi dalam waktu seminggu. Wisnu memerintahkan Manu untuk mengumpulkan semua tumbuhan dan hewan ke dalam sebuah kapal yang dipindahkan Wisnu ke puncak gunung ketika air bah datang, dan dengan demikian ia selamat bersama dengan sejumlah “bening kehidupan” untuk membangun kembali kehidupan di muka bumi. Manu diceritakan juga membawa serta tujuh orang bijak yang memegang semua pengetahuan dunia beserta keluarga mereka. Bersama mereka menetap di puncak gunung dan membangun kembali peradaban bumi dari awal.
Indonesia
Bangsa Indonesia punya mitos banjir bandangnya sendiri, dalam tradisi Batak misalnya, diceritakan bahwa bumi dipikul oleh seekor ular raksasa bernama Naga-Padoha. Suatu hari, ular tersebut telah lelah membawa bebannya dan melemparkan bumi ke dalam lautan. Namun Batara Guru yang berusaha menyelamatkan anak perempuan dan seluruh umat manuasia yang merupakan keturunannya, mengirimkan sebuah gunung ke laut. Bumi lantas diletakkan kembali di atas kepala ular tersebut.
Sementara daerah lain di Indonesia, seperti pulau Seram di Maluku, menganggap air bah termasuk dalam cerita-cerita dari bangsa Polinesia.
Jepang
Lalu bagaimana dengan Jepang? Apakah negara ini juga memiliki mitos tentang banjir bandang? Jepang sebenarnya tidak memiliki mitos yang merinci bencana air bah. Yang mereka miliki adalah Namazu – makhluk yang diyakini membawa gempa bumi yang mengundang datangnya tsunami, namun kejadian ini tidak dihitung sebagai banjir bandang. Pada abad ke-19, sarjana Jepang, seperti Hirata Atsutane dan Motoori Norinaga, menggunakan mitos banjir global dari budaya lain untuk mendukung supremasi Shinto, sekaligus mempromosikan sisi nasionalisme Jepang dengan menyatakan bahwa Jepang berada di pusat titik tertinggi bumi yang menjadikannya sebagai tempat terdekat dengan langit. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki mitos banjir.
Nah, itulah tadi beberapa mitos banjir bandang yang ada di beberapa wilayah di muka bumi ini. Sebenarnya masih banyak mitologi yang berhubungan dengan kisah banjir besar. Jadi, jika kalian mengetahui mitos banjir bandang lainnya, coba tulis di kolom komentar ya. Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
sumber: wikipedia ; idn.times
gambar sampul diambil dari ilustrasi bahtera Nuh yang menerjang banjir besar via obris.org
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang