7 Fakta Mengejutkan Grave of the Fireflies, Film Tersedih dari Studio Ghibli
Salah satu film paling memilukan sepanjang masa, tapi banyak yang belum tahu kenyataan pahit di balik layarnya.


Sulit membicarakan Grave of the Fireflies tanpa menyentuh perasaan terdalam. Dirilis oleh Studio Ghibli pada tahun 1988, film ini kerap dijuluki sebagai film anime paling menyedihkan sepanjang masa. Tapi tahukah kamu, di balik animasi yang indah dan cerita yang menyayat hati, Grave of the Fireflies menyimpan banyak fakta mengejutkan yang jarang diketahui penonton? Dari simbolisme kunang-kunang, latar lokasi nyata, hingga alasan penulis aslinya hampir menolak adaptasi ini, semuanya menjadikan film ini lebih dari sekadar kisah tentang perang.
Berikut 7 fakta paling mengejutkan tentang Grave of the Fireflies yang akan membuatmu memandang film ini dari sudut yang berbeda.
1. Diangkat dari Kisah Nyata yang Menyayat Hati


Grave of Fireflies diadaptasi dari cerita semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka, seorang penyintas perang yang kehilangan adik perempuannya karena kelaparan. Dalam novelnya, Nosaka menumpahkan rasa bersalah dan penyesalan yang tak pernah hilang. Ia menulis kisah ini sebagai bentuk penebusan dosa, dan menyebut bahwa menulisnya jauh lebih menyakitkan daripada semua kritik yang ia terima.
2. Bukan Film Anti-Perang, Tapi Lebih Kelam dari Itu


Banyak orang mengira Grave of the Fireflies adalah film anti-perang, tapi kenyataannya sedikit berbeda. Sutradaranya, Isao Takahata, justru mengatakan bahwa film ini bukan dibuat untuk menyampaikan pesan anti-perang secara langsung. Yang ingin ia tunjukkan adalah dampak tragis dari keputusan-keputusan pribadi yang diambil dalam situasi ekstrem seperti perang. Fokus film ini bukan pada pertempuran atau kekejaman musuh, melainkan pada bagaimana dua saudara harus bertahan hidup sendiri setelah kehilangan orang tua dan rumah mereka.
Takahata ingin penonton merasakan keputusasaan yang dialami Seita dan Setsuko, serta menyadari bahwa tragedi itu bisa dicegah jika ada pilihan atau keputusan yang berbeda. Jadi, film ini bukan sekadar menentang perang, tapi mengajak kita merenungkan rasa tanggung jawab, ego, dan pentingnya solidaritas di tengah bencana.
3. Kunang-Kunang: Simbol Keindahan dan Kehancuran


Kunang-kunang dalam Grave of Fireflies bukan sekadar hiasan visual yang cantik, mereka punya makna yang sangat dalam. Isao Takahata sengaja memilih kunang-kunang sebagai simbol kehidupan yang singkat namun bercahaya. Di satu sisi, cahaya mereka menggambarkan harapan dan keindahan masa kecil. Tapi di sisi lain, ia juga menjadi lambang kehancuran—seperti bom api yang membakar kota, lampu-lampu kapal perang, hingga nyawa-nyawa yang melayang dalam gelapnya perang.
Bahkan dalam judul filmnya, Takahata memakai kanji untuk “api” ketimbang karakter biasa untuk kunang-kunang, seolah mengaitkan cahaya mereka dengan kobaran kebakaran besar yang melahap rumah-rumah kayu di masa perang. Simbol ini juga punya akar budaya. Dulu, masyarakat Jepang sering menangkap kunang-kunang sebagai bagian dari tradisi musim panas, dan sekarang banyak desa di Jepang yang dikenal sebagai “desa kunang-kunang”. Jadi, kunang-kunang di film ini bukan cuma indah, tapi juga menyimpan makna tentang hidup, mati, dan semua yang ada di antaranya.
4. Dipasangkan dengan Totoro, Tapi Grave of Fireflies Terlalu Menyesakkan


Ketika Grave of the Fireflies pertama kali tayang di bioskop Jepang pada tahun 1988, film ini dirilis bersamaan dengan My Neighbor Totoro dalam satu paket film ganda. Meskipun kedua film dipasarkan untuk anak-anak dan keluarga, kontras suasana antara kisah hangat Totoro dan tragedi kelam yang ditawarkan Grave of the Fireflies membuat banyak penonton merasa tidak siap secara emosional. Namun begitu, film ini tetap mencatat kesuksesan di box office Jepang, dengan meraup pendapatan sekitar ¥1,7 miliar—angka yang cukup mengesankan untuk film sekelam ini.
5. Penulis Aslinya Sempat Menolak Adaptasi Film Ini


Akiyuki Nosaka, penulis Grave of the Fireflies, awalnya menolak banyak tawaran adaptasi karena tak yakin ada media lain yang mampu menangkap kedalaman emosional dan latar cerita yang tandus serta hangus akibat perang. Ia juga meragukan kemampuan aktor cilik zaman sekarang untuk memerankan karakter-karakternya secara meyakinkan. Namun semua berubah ketika Studio Ghibli datang membawa storyboard karya Isao Takahata. Setelah melihatnya, Nosaka justru kagum dibuatnya. Ia merasa bahwa hanya animasi yang bisa merealisasikan dunia suram dalam ceritanya, dan takjub dengan betapa akuratnya penggambaran sawah dan lanskap kota dalam film tersebut.
6. Terinspirasi dari Lokasi Nyata Tempat Penulis Bertahan Hidup


Salah satu latar penting dalam Grave of the Fireflies adalah kolam Niteko-ike, yang bukan hanya lokasi fiksi, tapi juga tempat nyata yang sangat personal bagi penulisnya, Akiyuki Nosaka. Kolam ini dikenal sebagai “tempat kelahiran” novel tersebut karena di sanalah Nosaka yang saat itu berusia 14 tahun, tinggal bersama adik iparnya dan berlindung dari gempuran perang. Ia melakukan rutinitas hariannya di sana, seperti mencuci piring dan membersihkan diri, selama hari-hari terakhir Perang Pasifik. Pengalaman traumatis dan keseharian yang kelam di sekitar kolam inilah yang kemudian dituangkan Nosaka ke dalam cerita, menjadikannya bagian penting dari kenangan dan kisah kelangsungan hidupnya.
7. Penonton Jepang dan Barat Menafsirkan Film Ini dengan Cara Berbeda


Setelah dirilis secara internasional, Grave of the Fireflies memunculkan beragam tafsir di kalangan penonton dari budaya yang berbeda. Di Jepang, keputusan Seita untuk tidak kembali ke rumah bibinya dianggap wajar, bahkan terhormat, karena selaras dengan nilai-nilai budaya tentang harga diri dan kebanggaan nasional yang ditanamkan sejak kecil. Namun, di mata penonton Barat—seperti Amerika dan Australia—tindakan Seita sering kali dianggap sebagai keputusan yang gegabah dan tragis. Perbedaan ini menyoroti bagaimana konteks budaya sangat memengaruhi cara kita memahami pilihan karakter dan pesan dari sebuah cerita.
BACA JUGA:
Itulah 7 fakta mengejutkan dari Grave of the Fireflies, sebuah film yang tak hanya menggambarkan horor perang, tapi juga menghadirkan refleksi mendalam tentang kehilangan, harga diri, dan cinta tanpa syarat. Film ini bukan sekadar membuat kita menangis, tapi juga mengingatkan bahwa kisah di balik layar bisa sama menyayatnya dengan yang ada di layar. Jadi, jika nanti kamu menonton ulang Grave of the Fireflies, mungkin kali ini kamu akan melihatnya dengan mata dan hati yang berbeda.
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang

