Makan serangga di tengah ancaman krisis pangan mulai menarik perhatian. Saat populasi dunia terus bertumbuh dan kian bertambah banyak, dunia justru dilanda krisis pangan sehingga tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan dunia. Pada akhirnya budaya etnomofagi atau memakan serangga yang telah lama hilang kembali mencuat.
Baru-baru ini sebuah mesin penjual otomatis atau biasa dikenal vending machine yang menjual serangga di Sendai laris manis diserbu pelanggan.
Jadi, sebenarnya seperti apa rasa dari serangga? Seperti yang Titipers tahu bahwa banyak sekali orang yang merasa jijik dan takut dengan serangga.
Koji Mizota seorang profesor ahli entomologi di Universitas Pendidikan Miyagi di Sendai turut membagikan ceritanya. Ia sudah tertarik terhadap serangga sedari kecil. Ia juga telah memakan serangga di seluruh dunia sambil melakukan penelitian.
Ulat Rebus
Koji Mizota menunjukan tas yang penuh dengan ulat seukuran kelingking yang baru saja dikeluarkan dari lemari es di laboratorium nya.
“Saya membelinya di Afrika Selatan,” katanya. “Mereka dimakan dengan direbus, sebagai pengganti daging, rasanya enak.”
Mizota pertama kali memakan serangga ketika duduk dibangku sekolah dasar. Ia mencoba ulat larva ngengat yang biasa hidup di pohon sakura. Ia mencoba memakan ulat tersebut setelah melihat burung pelihaaraan di rumahnya memakan ulat tersebut dan terlihat nikmat.
“Saya memakannya setelah memanggangnya di atas api,” ungkapnya. “Mereka adalah ulat yang menyukai pohon sakura, jadi mereka memiliki rasa bunga sakura yang halus, rasanya sangat enak.”
Setelah itu, mulailah Mizota mengagumi dan gemar makan serangga.
Ia juga mengungkapkan serangga yang menurutnya paling nikmat. Menurutnya larva kumbang palem yang pernah ia makan di Kongo.
Mereka adalah larva kumbang besar. Mizota menjelaskan “Mereka memakan pohon palem, sehingga mereka tidak memiliki rasa yang kuat. Tekstur larva tersebut juga seperti udang.”
Mizota juga mengatakan budidaya larva telah merambah ke Asia akhir-akhir ini.
Laporan PBB
Memakan serangga mulai menarik perhatian setelah Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan laporan pada tahun 2013 yang berfokus pada serangga yang dapat dimakan, dengan tujuan meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa serangga merupakan sumber protein yang paling efisien.
Diperkirakan 80% bagian tubuh jangkrik dapat dimakan dan dicerna, sedangkan sapi hanya 40% bagian tubuhnya dan 50% untuk babi dan ayam.
Pakan yang dibutuhkan jangkrik pun cenderung lebih sedikit. Untuk menghasilkan 1 kg daging, ternak sapi membutuhkan 25kg pakan, babi 9,1 kg pakan, ayam 4,5 kg pakan, sedangkan jangkrik hanya membutuhkan 2,1 kg pakan.
Air yang dibutuhkan jangkrik juga hanya sebagian kecil dari jumlah air yang dibutuhkan untuk ternak sapi.
Seiring promosi PBB perihal serangga sebagai makanan masa depan yang ramah lingkungan, berbagai usaha dan bisnis serangga kian bermunculan.
Ryohin Keikaku seorang pedagang grosir yang menjual barang-barang rumah tangga, ia kini juga menjual aneka olahan jangkrik. Kerupuk jangkrik dan cokelat jangkrik terbukti menjadi produk yang populer.
Selain itu, ada juga mesin penjual otomatis yang menyediakan jangkrik goreng dan jangkrik mol yang terbukti laris manis seperti yang disebutkan diatas.
Merasa Aneh
Mizota mengomentari perihal munculnya tren makan serangga ini, meskipun ia tidak menyangkalnya. “Saya tidak menyangkalnya, hanya saja rasanya aneh bagi saya.” komentarnya.
“Ini semua akan datang meskipun banyak orang yang membenci serangga, saya hanya meragukan tren tersebut” ujarnya.
Pasalnya, menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Cyber University pada tahun 2016, hanya 24,2% pria berusia 20-an dan 14,2% wanita berusia 20-an mengatakan bahwa mereka bisa menyentuh serangga, persentasenya kurang dari setengahnya untuk orang berusia 60-an — 61,3% untuk laki-laki dan 36,4% untuk perempuan.
Mizota juga mengatakan bahwa ia akan tetap menggunakan gambar serangga, meskipun ada mahasiswa yang mengeluhkan tentang pelecehan serangga ketika Mizota menunjukkan gambar serangga.
Memakan serangga adalah hal yang lumrah di Jepang pada masa lalu.
Hasil penelitian dari seorang ahli entomologi Tsunekata Miyake pada tahun 1919 tentang serangga yang dapat dimakan dan obat-obatan menunjukkan bahwa belalang, jangkrik, dan tawon telah dikonsumsi hampir di seluruh negeri waktu itu.
“Modernisasi membuat serangga menjadi terasa menjijikkan,” jelas Mizota. “Saya ragu memakan serangga akan benar-benar mengakar di negara seperti itu.”
Budaya Yang Diwariskan
Dibeberapa bagian negara, prakti makan serangga diwariskan turun-temurun.
Di Prefektur Nagano larva serangga air seperti lalat batu, lalat kandis, dan lalat dobson yang dikenal sebagai zazamushi (larva serangga yang berada didasar sungai) diolah menjadi tsukudani (makanan awetan yang direbus dalam gula dan kecap). Tsukudani dikenal sebagai makanan mewah di Nagano.
Larva ditangkap saat musim dingin, antara akhir Desember dan Februari. Para pemburu menyapu batu di dasar sungai dengan kaki mereka untuk mendorong larva masuk ke dalam jaring. Metode menangkap larva secara tradisional tersebut dikenal sebagai mushifumi, yang berarti menginjak-injak serangga.
“Saat ini tahun zazamushi tidak mengkonsumsi apa pun, jadi baunya tidak kuat, dan orang memakannya karena menurut mereka rasanya enak,” kata Mizota.
Masyarakat Yang Ideal
Mizota berencana untuk pergi ke Laos. Ia berniat untuk mengunjungi pasar disana sepanjang tahun. Ia ingin meneliti dan mencari tahu jenis serangga yang dikonsumsi di musim yang berbeda.
“Laos merupakan negara yang terdepan dalam konsumsi serangga, situasi yang 100 tahun yang lalu sudah terjadi di Jepang,” katanya. “Menurut saya, masyarakat yang ideal 100 tahun kedepan adalah dimana orang-orang dapat berhubungan dengan hewan liar tanpa ada prasangka.”
Jadi, bagaimana menurut Titipers?
Jangan lupa, ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Sumber: Japan Times
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang