Digimon Tamers: “Evangelion”-nya Anime Anak yang Terlalu Gelap untuk Zamannya


Buat banyak penggemar anime, menyebut sebuah seri sebagai “Neon Genesis Evangelion-nya genre X” adalah cara cepat untuk bilang: “Ini dalem, ini gelap, ini bukan serial biasa.” Tapi dari sekian banyak seri yang disebut-sebut begitu, hanya sedikit yang benar-benar layak untuk dibandingkan dengan Evangelion. Yang mengejutkan, salah satu yang paling layak justru datang dari genre anak-anak. Digimon Tamers, alias season ketiga Digimon, tidak hanya bikin anak-anak trauma, tapi juga menjungkirbalikkan genre penangkap monster dengan cara yang brilian.
Digimon Tamer Berlatar di Dunia Nyata


Berbeda dari dua season sebelumnya yang masih dipenuhi fantasi ringan dan petualangan seru, Digimon Tamers langsung melempar kita ke dunia nyata. Dalam semesta ini, Digimon bukanlah makhluk ajaib dari dimensi lain, melainkan sekadar waralaba media populer, yang ada anime-nya, TCG-nya, dan tentu saja video game-nya.
Perubahan arah meta ini mendorong Digimon Tamers masuk ke ranah sci-fi, lengkap dengan penjelasan pseudosains untuk setiap kejadian supranatural yang terjadi. Tapi bukan itu inti dari semua perubahan ini. Yang paling mencolok justru ada pada nadanya. Digimon Tamers terasa jauh lebih gelap dan serius dibandingkan pendahulunya. Ia menyodorkan gambaran bagaimana jadinya kalau Digimon benar-benar ada di dunia kita, mirip dengan bagaimana Neon Genesis Evangelion mencoba menggambarkan secara realistis anak-anak yang dipaksa bertarung sampai mati dalam robot raksasa.
Cerita awal Digimon Tamers banyak mengikuti tokoh utama seri ini, Takato Matsuki, seorang bocah biasa yang tiba-tiba harus menjadi “Tamer” setelah Digimon hasil imajinasinya, Guilmon, menjadi nyata. Alih-alih senang, Takato justru dicekam rasa cemas. Takut Guilmon hilang, takut keberadaannya diketahui orang lain, dan takut Guilmon kelaparan. Ketakutannya semakin bertambah saat Hypnos, organisasi pemerintah yang tidak segan memusnahkan Digimon apa pun demi keselamatan umat manusia, mulai mencium keberadaan mereka.
Semua kekhawatiran ini, ditambah pergulatan batin serupa yang dialami Henry Wong dan Rika Nonaka, menjadi fokus utama cerita. Lebih penting dari aksi maupun konflik besar yang berjalan di latarnya. Mereka bertiga bukan sosok heroik seperti para DigiDestined sebelumnya, melainkan anak-anak biasa yang rapuh, penuh emosi, dan punya beban hidup masing-masing. Digimon mereka pun bukan sekadar maskot lucu yang cuma tahu bilang “Aku sayang kamu”, melainkan karakter yang punya perasaan, masalah, dan luka mereka sendiri. Hubungan antara “Tamer” dan Digimon di sini terasa lebih manusiawi, dibangun melalui rasa takut, kegagalan, dan perlahan-lahan, pengertian
Ketika akhirnya mereka masuk ke Dunia Digital—dan hanya untuk satu arc—yang mereka temui bukanlah dunia fantasi berwarna cerah seperti di Digimon Adventure. Sebaliknya, Dunia Digital versi Digimon Tamers adalah tempat yang dingin, asing, dan berbahaya. Tempat di mana siapa pun bisa mati kapan saja, tanpa jaminan kembali. Menjelang akhir cerita, para “Tamer” bahkan tidak mampu lagi bertarung. Mereka terpaksa bersandar pada para “Monster Maker”, sekelompok programmer paruh baya yang dulu menciptakan Dunia Digital. Rasanya memang aneh melihat karakter seperti Henry Wong, Dolphin, dan Shibumi begitu dominan dalam seri seperti Digimon. Tapi, seperti keberadaan dan keterlibatan besar Mitsuo Yamaki dan Hypnos, sangatlah realistis bahwa orang dewasa di dunia seperti ini tidak akan menyerahkan pertarungan melawan ancaman digital kepada sekelompok anak-anak sepenuhnya.
Digimon Tamers Menghancurkan Genre Penangkapan Monster dengan Cara yang Menyedihkan


Banyak yang keliru memahami apa yang sebenarnya membuat Neon Genesis Evangelion disebut sebagai dekonstruksi. Bukan karena tema yang berat, penuh konflik psikologis, atau mempertanyakan moralitas anak-anak yang dipaksa mengemudikan robot raksasa. Hal-hal seperti itu sudah pernah dilakukan oleh Mobile Suit Gundam sejak tahun 1979. Yang sebenarnya membuat Neon Genesis Evangelion menjadi dekonstruksi adalah kemampuannya dalam menggabungkan semua konvensi khas genre mecha, menggunakannya dengan sudut pandang yang baru, lalu mengupasnya menjadi kisah thriller psikologis yang menyedihkan dengan lapisan robot raksasa sebagai kulit luarnya saja.
Digimon Tamers juga bergerak dengan semangat serupa. Ia sangat menghormati warisan dari seri sebelumnya, Digimon Adventure, dan justru karena itulah ia tak ragu menggunakan ulang berbagai elemen yang sudah familiar bagi penggemar. Tapi alih-alih sekadar mengulang, Digimon Tamers justru membelokkannya ke arah yang lebih kelam dan reflektif untuk menyampaikan cerita yang jauh lebih kompleks dan dewasa. Kalau Digimon Adventure adalah kisah petualangan tentang kekuatan persahabatan dan belajar menjadi diri sendiri, maka Digimon Tamers adalah kisah menyedihkan dengan tema berat: hubungan antara pencipta dan ciptaannya, hubungan parasosial, berbagai bentuk pelecehan keluarga, kebencian terhadap diri sendiri, absurditas hidup, hingga kematian yang tak terelakkan. Hebatnya, Digimon Tamers berhasil menenun semua tema itu ke dalam perkembangan karakternya, sehingga setiap momen emosional yang terjadi terasa tajam dan berkesan setara dengan momen-momen paling menyayat di Neon Genesis Evangelion.
Ada banyak adegan mengejutkan, menakutkan, dan memilukan di Digimon Tamers yang sampai saat ini masih membekas di benak setiap orang yang telah menonton serial tersebut. Terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu, tapi beberapa di antaranya seperti saat Hypnos pertama kali menjalankan program Shaggai, kegundahan Takato karena Guilmon tidak “nyata”, kematian Leomon di tangan Beelzemon, Dark Digivolution Guilmon menjadi Megidramon, hingga kejatuhan Jeri Katou di paruh terakhir seri. Semuanya bukanlah hal yang biasanya kita temui di anime anak-anak. Meski begitu, Digimon Tamers tak pernah sepenuhnya melepaskan jati dirinya sebagai bagain dari dunia Digimon. Masih banyak momen ringan yang hangat dan melegakan melegakan, seperti karakter maskot yang lucu, evolusi Takato menjadi pahlawan sejati, Rika yang akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri, dan kisah penebusan Beelzemon yang menggugah.
Digimon Tamers Tidak Berakhir Seperti Awalnya


Yang banyak dilupakan orang tentang Neon Genesis Evangelion adalah bahwa paruh pertamanya sebenarnya cukup konvensional, meskipun di atas standar anime mecha pada umumnya. Serial ini baru mulai menunjukkan sisi kelam dan surealisnya saat memasuki babak akhir, hingga akhirnya berubah total menjadi sama sekali tidak dapat dikenali jika dibandingkan awal ceritanya. Lalu datang The End Evangelion, film penutup yang tidak hanya menjungkirbalikkan segalanya, tapi juga terasa seperti serangan langsung terhadap penggemar yang tidak menyukai akhir versi TV-nya yang aneh namun positif, menggantikannya dengan kehancuran total yang membekas sebagai mimpi buruk.
Digimon Tamers menempuh jalur yang tak jauh berbeda. Awalnya, anime ini berjalan pelan, tenang, dan menghadirkan pendekatan realistis terhadap waralaba Digimon. Tapi begitu memasuki bagian akhirnya, Tamers menjelma menjadi horor kosmik ala Lovecraft. Referensi pada karya H.P. Lovecraft memang sudah diselipkan sejak awal, tapi semuanya memuncak pada antagonis utama mereka: D-Reaper. Ia bukan monster biasa, melainkan entitas abstrak yang tak bisa dihancurkan, tidak punya emosi, dan hadir hanya untuk memusnahkan. D-Reaper butuh 10 episode untuk dikalahkan, dan layaknya cerita-cerita horor kosmik, tidak ada akhir bahagia di balik perjuangan itu.
Berangkat dari program komputer sederhana yang berevolusi menjadi bentuk kehidupan mengerikan, D-Reaper tak hanya mengancam secara konsep, tapi juga secara langsung di dalam cerita. Apa pun yang disentuh oleh wujud amorfnya akan terhapus, sementara para “Agent”-nya hadir satu per satu dengan desain dan fungsi yang lebih menakutkan dari yang sebelumnya, dan menghabiskan seluruh alur cerita dengan menyiksa Jeri secara psikologis, dan memuaskan depresinya. Para “Tamer” tidak bisa melawannya secara konvensional, sehingga membuat alur ceritanya tidak lagi terasa seperti tentang sekelompok pahlawan yang mencoba menyelamatkan dunia, tetapi tentang upaya putus asa dari orang-orang biasa di kota yang terkutuk, yang mencoba apa pun yang mereka bisa untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Meskipun akhir ceritanya tidak dapat dibandingkan dengan klimaks End of Evangelion dalam skala atau pukulan emosionalnya, namun tetap terasa menyakitkan.
Para “Tamer” dipisahkan dari rekan Digimon mereka selamanya, Janyu menangis tersedu-sedu karena mengkhianati kepercayaan putranya, dan Henry memberi isyarat bahwa semuanya tidak akan sama seperti sedia kala. Dua puluh empat tahun kemudian, Digimon Tamers masih tetap berdiri sebagai slah satu karya klasik dan tidak ada seri lain dalam waralaba tersebut, atau anime penangkap monster lainnya, yang bahkan mencoba bermain di level yang sama. Ini adalah yang terbaik karena sama seperti banyak anime mecha yang telah berusaha meniru Neon Genesis Evangelion tapi gagal. Alasan mengapa Tamers dan Evangelion menjadi seperti sekarang ini bukanlah karena mereka mencoba mendefinisikan ulang genre mereka atau menjadi hit besar, tetapi karena keberanian mereka menceritakan kisah-kisah yang kreatif, menggugah pikiran, menghantui, sekaligus tetap memberi hormat kepada karya-karya pendahulunya.
sumber: cbr
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang

