Perselingkuhan di Jepang: Menjelajahi Dinamika Budaya Perkawinan, Hubungan, dan Kesetiaan

Titip Jepang-Perselingkuhan di Jepang

Akhir-akhir ini media nasional kita dipenuhi dengan informasi perselingkuhan, ditambah fakta-fakta yang diungkap membuat tercengang. Setiap kegiatan selalu ada teknik atau cara untuk memudahkan tujuan itu, begitu juga teknik dalam berselingkuh. Beberapa orang sudah meninggalkan teknik versi ‘lagu lama’, karena dianggap mudah dikenali.

Dalam budaya Jepang telah menggunakan pernikahan dalam beberapa bentuk selama lebih dari 1.000 tahun. Mirip dengan masyarakat Barat, tujuan utama pernikahan tampaknya adalah untuk membangun dan mengkonsolidasikan ikatan antara keluarga untuk keuntungan sosial bersama dan kenaikan jabatan.

Konsep awal pernikahan mungkin dipengaruhi oleh Konfusianisme Tiongkok, di mana kekuatan budaya memegang peranan penting dalam masyarakat Jepang. Bahkan mereka lebih mawas untuk bisa mengidentifikasi fakta kritis dalam perselingkuhan di Jepang.

Seperti pola perkawinan budaya Konghucu secara tradisional mengajarkan kesetian dalam harmonisasi rumah tangga, termasuk hubungan seksual (terutama untuk wanita Jepang). Walaupun konsep ini tidak berhasil dipraktikkan dalam masyarakat Jepang awal, di mana pernikahan seringkali tidak langgeng karena pernikahan dapat diatur sesuai dengan tujuan sosial atau politik baru.

Konsep Pernikahan di Jepang

Strata sosial untuk peningkatan status keluarga menjadi poin utama dalam pernikahan di Jepang, dalam waktu yang lama. Namun, romansa dan cinta diakui sebagai alasan sah untuk menikah selama berabad-abad. Hingga saat ini menjadi perhatian penting sampai saat ini.

Selama periode Meiji, perbedaan yang lebih formal muncul antara omiai (pertemuan yang diatur) dan ren’ai (perjodohan cinta).

 Omiai 

Omiai adalah kebiasaan yang dimulai di antara kelas borjuis di masyarakat Jepang. Ini menggambarkan pertemuan antara dua pihak yang dituju, biasanya pernikahan secara formalitas lebih luas dalam konteks perjodohan. Pertemuan itu seharusnya membuat pasangan yang dituju mendapatkan gambaran tentang pasangan mereka, tetapi biasanya, pernikahan akan berlanjut apabila mulai tumbuh perasaan satu sama lain.

 Ren’ai 

Ren’ai menggambarkan hubungan karena perjodohan, jika di Indonesia lebih dikenal dengan konsep ta’aruf, di mana para pelamar membawa berkas yang berisikan riwayat hidup dirinya dan silsilah keluarganya ke keluarga calon pasangan. Tingkat akurasi cocok dari teknik perjodohan ini agak kurang umum daripada omiai, karena orang-orang jarang menyukai teknik ini.

Kebiasaan perjodohan secara formal atau biasa kita kenal dengan “pernikahan bisnis”, merupakan salah satu bagian dari perspektif bahwa pernikahan adalah institusi fungsional yang dirancang untuk mempersatukan keluarga daripada individu. Dengan demikian, menemukan pasangan seksual di luar pernikahan menjadi prioritas bagi orang Jepang, jika teknik ren’ai tidak memungkinkan bagi mereka.

Lalu bagaimana melihat kesetian dalam sebuah sebuah pernikahan. Mari, kita simak penjelesannya berikut ini:

Hubungan dan strata Jepang 

Seperti yang terjadi pada umumnya, tradisi pernikahan bisnis biasa dilakukan oleh keluarga dari strata kelas atas. Mengingat bahwa mobilitas sosial adalah motivator utama pernikahan Jepang, strata sosial sangat berperan penting dalam menentukan siapa pasangan yang tepat untuk si calon pengantin.

Baca Juga:

Blak-blakan! Seiyuu Takahiro Sakurai Mengaku Berselingkuh Selama 10 Tahun dengan Rekan Kerjanya

 Aristokrasi 

Pernikahan antara anggota aristokrat, untuk menciptakan kelompok kecil baru yang ditujukan bagi orang-orang kelas atas. Tujuannya adalah untuk mengkonsolidasikan pengaruh politik dan sosial. Jadi, kegiatan apa pun di luar pernikahan akan sering terabaikan selama tugas perkawinan mereka berlangsung.

 Pernikahan dan Mobilitas Sosial di Jepang 

Sebagian besar orang akan menikah dengan pasangan yang memiliki strata lebih tinggi, biasanya mereka akan melihat dari kelompok tertentu, baik dari teman atau kenalan di luar lingkup pertemanan.

Pada abad ke-17 dan ke-18, istri dianggap sebagai “aksesori” dalam pernikahan. Wanita yang sudah menikah diharapkan untuk memprioritaskan kebutuhan keluarga suami di atas kebutuhan sendiri. Sementara itu, pria Jepang yang menikah didorong untuk memprioritaskan orang tua dan anak lebih penting daripada istri mereka sendiri.

 Pernikahan dengan warga asing 

Orang Jepang tidak diizinkan menikah dengan orang asing sampai tahun 1873. Menikah dengan orang asing mengharuskan orang Jepang kehilangan status sosialnya, hal ini bertentangan dengan tujuan pernikahan di Jepang.

Ada kesamaan antara bagaimana status sosial dan pernikahan di Jepang dan Barat. Namun, konsep kelas sosial di Jepang secara signifikan lebih luas jika dibandingkan dengan negara Barat. Hal ini mungkin sangat memengaruhi pemahaman tentang perselingkuhan di Jepang – suatu hal yang menciptakan jurang pemisah yang jauh lebih lebar antara yang romantis dengan yang sosial.

Perselingkuhan di Jepang: Perspektif Era Meiji

Era Meiji, zaman pemerintahan kaisar Jepang sesudah tahun Keiō dan sebelum zaman Taishō. Di mana ibu kota pemerintahan dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo. Menganut sistem kepercayaan dan hukum yang sangat ketat yang telah dikodifikasi terkait peraturan pernikahan dan perselingkuhan, terutama bagi wanita Jepang. Yang dipengaruhi pemikiran Barat serta munculnya feminisme seputar ide-ide represif tentang peran wanita dalam suatu hubungan.

 1. Zina 

Undang-undang era Meiji menyatakan bahwa seorang suami berhak membunuh istri dan kekasihnya jika ketahuan melakukan perzinahan. Namun, undang-undang ini dibatalkan pada tahun 1908, melihat kasus perselingkuhan tampak sangat sadis selama periode tersebut.

 2. Perceraian 

Undang-undang perceraian selama periode Meiji sangat didukung oleh para suami, karena hal itu dianggap lebih baik dari pada melakukan perzinahan atau perselingkuhan. Sebagian orang bercerai adalah solusi terbaik untuk menyelamatkan dua insan yang tidak menemukan kecocokan dalam rumah tangga.

Hal ini telah terjadi selama berabad-abad, tetapi wanita yang ingin bercerai pada periode ini memunculkan gerakan feminis yang sedang gembor-gembornya kala itu. Dan undang-undang perceraian berkembang secara bertahap sepanjang abad ke-20.

Apakah Perselingkuhan Dianggap Hal Biasa di Jepang Saat Ini?

Orang Jepang menyikapi arti “kesetiaan” berbeda dari persepsi orang-orang di Barat. Tidak ada aturan yang tegas tentang “Perselingkuhan di Jepang” atau konsensi dari hukum budaya yang dapat diterapkan. Pengkhianatan memang merugikan orang yang dicintai dan akan merusak stabilitas keluarga, atau bahkan berdampak negatif pada orang lain.

 Perselingkuhan sebagai Penipuan 

Berselingkuh dengan mengabaikan orang lain dianggap sebagai penipuan. Ketika kita berbicara tentang “perselingkuhan di Jepang”, kita dianggap menggunakan kata yang salah. Karena “Menipu” selalu menyiratkan perselingkuhan dengan maksud untuk menipu. Perilaku menipu dianggap merugikan orang lain yang berdampak tidak baik, oleh karena itu kasus perselingkuhan di Jepang pantas diberi hukuman yang sesuai.

 Selingkuh sebagai Kecurangan 

Dalam suatu pernikahan ada beban tanggung jawab, hal itu adalah salah satu “kesepakatan tak terucapkan” dengan menunaikan tanggung jawab dengan baik maka perselingkuhan tidak akan terjadi sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapa pun. Tidak mempermalukan dan tidak menimbulkan konflik bagi kepentingan dalam suatu bisnis.

Apakah Selingkuh di Jepang Lebih Umum Daripada di Barat?

Ketika seseorang berbicara tentang “perselingkuhan di Jepang” lebih dapat diterima daripada di Barat, yang menggambarkan persepsi budaya daripada perbedaan perilaku. Berdasarkan data statistik dari tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 27,5% pria dan 21,7% wanita di Jepang pernah berselingkuh dari pasangannya di masa lalu. Sementara itu, survei AS dari tahun 2017 melaporkan bahwa 20% pria dan 13% wanita di AS sebelumnya pernah selingkuh.

Namun, tingkat perceraian di AS jauh lebih tinggi dari pada di Jepang. Tak satu pun dari data itu memberikan kesimpulan tentang kebahagiaan dari suatu perkawinan atau sikap terhadap perselingkuhan di AS atau Jepang – mereka hanya memberi tahu kita bahwa, seperti biasa, gambarannya jauh lebih rumit daripada yang dapat kita pahami dalam generalisasi.

Baca Juga:

7 Film Perselingkuhan Jepang Terbaru

Apakah Perselingkuhan di Jepang Pernah Dianggap Bagian dari Hubungan yang Sehat?

Perselingkuhan terjadi di Jepang, sama seperti di tempat lain. Alasan di balik perselingkuhan selalu rumit, dengan alasan pembelaan lainnya. Banyak faktor dalam sejarah dan perkembangan budaya Jepang, yang berbeda terhadap pandangan “selingkuh” dibandingkan dengan Barat. Perbedaannya terletak pada apakah kesetiaan seksual dianggap sebagai komponen kepercayaan yang penting. Namun, hasilnya selalu sama hubungan yang langgeng dibangun di atas kepercayaan. Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi persepsi tentang perselingkuhan di Jepang.

 Kesetiaan dalam Hubungan 

Kesetiaan dalam suatu hubungan biasanya dianggap jauh lebih penting dalam “perjodohan cinta”, terutama di masa-masa awal pernikahan. Seiring berjalannya waktu, keluarga tumbuh, dan masing-masing pasangan menemukan lebih sedikit waktu untuk romantisasi seperti awal pernikahan, sehingga masing-masing lebih cenderung untuk mencari kepuasan seksual di tempat lain.

 Dampak pada Keluarga 

Keluarga kedua individu biasanya sangat sensitif dalam pernikahan. Perselingkuhan dianggap salah satu aib besar keluarga yang tidak dapat ditoleransi. Ini berlaku terutama untuk perselingkuhan karena alasan cinta yang dapat menyebabkan perceraian, karena hal ini memalukan dan mahal bagi keluarga besar.

Selain memberikan dampak buruk, hal itu juga dapat mengganggu pola pikir anak dalam masa pertumbuhannya. Sehingga  kasus perselingkuhan tidak dapat diterima, meskipun alasannya positif.

Baca Juga: 6 Artis Jepang yang Selingkuh, No. 5 Pertahankan Rumah Tangga Demi Anak!

 Dampak dari Persepsi Luar 

Kasus “perselingkuhan” dipandang rendah di Jepang. Jika salah satu anggota pasangan tidak bijaksana dan berani untuk berselingkuh. Hal ini dapat berdampak negatif pada reputasi keluarga dan mempermalukan orang tua, anak, dan pihak lain.

Kebijaksanaan dan martabat adalah aset berharga dalam budaya Jepang, sama seperti di Barat. Kegagalan memberikan pandangan masyarakat bahwa martabat pasangan dan keluarga dinilai dari perilaku ceroboh anggota keluarga yang melakukan hal tercela (misalnya mabuk di depan umum atau membual).

Bagaimana menurut Titipers?

Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang ya! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^

Sumber: japanbased

Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *