Mengapa Jepang Tidak Takut Pada Zombie?
Produksi Jepang memperlakukan zombie sebagai bahan komedi.


Kalau di Barat zombie digambarkan sebagai ancaman mengerikan yang bisa menghapus peradaban manusia, di Jepang justru berbeda. Mayat hidup malah sering jadi bahan komedi, satire, bahkan drama kabuki. Nah, menariknya, ada alasan budaya yang dalam kenapa orang Jepang tidak pernah benar-benar takut pada zombie. Yuk, kita kupas tuntas alasannya!
Daftar Isi
Oedo Living Dead


Bayangkan kamu lagi nonton kabuki klasik dengan kostum penuh warna dan musik tradisional, lalu tiba-tiba muncul zombie!
Itulah yang dilakukan dramawan Kankuro Kudo pada tahun 2009 lewat karya berjudul Oedo Living Dead. Drama ini dibuka dengan dua aktor berkostum ikan yang memerankan kusaya – ikan fermentasi khas Kepulauan Izu dengan aroma super menyengat – yang sibuk mengeluhkan baunya.
Kisah kemudian berlanjut ke saus kusaya yang digunakan pedagang Oyo, yang ternyata bisa menghidupkan kembali orang mati. Hansuke, salah satu karakter, memanfaatkannya untuk membuat para zombie bekerja, karena mereka tidak akan menggigit manusia hidup yang berlumuran saus bau tersebut. Dari sini, drama berubah menjadi sindiran tajam soal eksploitasi pekerja sementara di Jepang.
Meski kental dengan komedi, Oedo Living Dead juga punya momen kelam. Dalam satu adegan, puluhan zombie tiba-tiba mendorong tangan mayat hidup mereka melalui layar shoji, menciptakan ketegangan layaknya horor sunggahan.
Premis “zombie di Jepang feodal” jelas terdengar keren, apalagi diperkuat dengan riasan berdarah-darah khas panggung kabuki. Namun, yang menarik justru pilihan Kankuro Kudo untuk mengemasnya dengan humor. Mengapa banyak produksi Jepang, mulai dari kabuki hingga film live-action dan anime, kerap menjadikan zombie sebagai bahan komedi?
Zombie Mungkin Terlalu Asing Bagi Jepang


Fenomena Oedo Living Dead bukanlah kasus tunggal. Jepang punya sejarah panjang mengemas zombie dengan cara yang tidak terlalu serius.
Ambil contoh Tokyo Zombie (2005), film kiamat zombie yang malah disajikan sebagai lelucon. Salah satu adegannya bahkan bikin ngakak, tokoh utama panik karena merasa jadi mayat hidup setelah digigit, padahal dia baik-baik saja karenaa dia diserang oleh zombie yang memakai gigi palsu.
Lalu ada Zom 100: Bucket List of the Dead (2023). Meski latarnya kiamat, ceritanya justru berubah jadi kisah inspiratif tentang menjalani hidup sepenuhnya karena “besok” mungkin nggak akan datang. Atau Battlefield Baseball (2003), yang absurd banget: bisbol tapi pemainnya mayat hidup.
Bandingkan dengan Resident Evil, salah satu seri zombie paling ikonik dari Jepang. Meski digarap serius, game ini selalu berlatar di Barat dengan tokoh utama orang asing. Itu sudah jadi tanda bahwa Jepang sering tidak menganggap zombie sebagai monster domestik mereka.
Pada akhirnya, horor Jepang lebih suka mengutak-atik hal-hal familiar lalu memelintirnya jadi menyeramkan. Ingat kaset VHS terkutuk di The Ring? Itu lebih dekat dengan keseharian orang Jepang ketimbang mayat hidup.
Bukan berarti orang tidak meninggal di sini, tetapi, setelah meninggal, mereka biasanya dikremasi, karena negara ini hanya memiliki segelintir pemakaman bergaya Barat di mana jenazah yang dapat dihidupkan kembali dimasukkan ke dalam tanah.
Monster Jepang vs. Zombie Barat
Bukan berarti Jepang tidak mengenal mayat hidup. Sosok seram itu memang bisa ditemukan di mana-mana, termasuk dalam kabuki, cerita rakyat, mitologi, legenda, dan banyak lagi. Bedanya, “mayat hidup” ala Jepang ini punya nuansa yang jauh berbeda dari zombie ala Barat.
Kalau zombie Barat identik dengan tubuh busuk yang bangkit dari kubur, di Jepang wujudnya lebih sering hadir sebagai hantu onryo – roh penuh dendam, biasanya perempuan yang semasa hidupnya dianiaya – atau sebagai makhluk supernatural yokai. Mereka berada di perbatasan dunia manusia dan dunia roh. Kadang tak sepenuhnya nyata, tapi bisa berinteraksi dengan orang hidup, atau mengambil bentuk fisik karena dorongan emosi yang begitu kuat.
Secara umum, monster Jepang terasa lebih “gaib” ketimbang biologis. Bahkan Godzilla, yang sering dianggap monster sains-fiksi, pernah digambarkan sebagai makhluk supernatural dalam film Godzilla, Mothra, and King Ghidorah: Giant Monsters All-Out Attack. Di sana, tubuhnya dirasuki oleh arwah prajurit yang tewas di Perang Dunia II. Sementara itu, zombie justru serba biologis—daging, darah, dan penyakit—sehingga bagi penonton Jepang, mereka cenderung kurang menakutkan.
Contoh yokai yang punya nuansa mirip mayat hidup adalah Hone-Onna (Wanita Tulang). Ia adalah sisa-sisa perempuan yang bangkit kembali karena cinta yang terlalu mendalam. Kepada kekasihnya, ia tampak cantik dan hidup, padahal yang memeluk si pria sebenarnya hanyalah kerangka. Malam demi malam, Hone-Onna menguras energi pasangannya hingga sang korban meninggal tanpa sadar dirinya telah jatuh ke pelukan nekrofilia.
Lain lagi dengan Yama-uba, penyihir gunung pemakan manusia. Yokai satu ini digambarkan punya kulit sekeras baja, gigi tajam, dan mulut kedua di atas kepalanya—sosok yang lebih menyeramkan daripada zombie mana pun.
Dan jumlahnya? Jauh lebih beragam. Kalau zombie biasanya hanya sekumpulan mayat lapar, Jepang punya ratusan bahkan ribuan jenis yokai dan iblis oni. Ada satu parade terkenal bernama Hyakki Yagyo, ketika semua monster itu turun beriringan di jalanan malam. Motif ini sudah ratusan tahun muncul dalam seni Jepang, menegaskan betapa kayanya imajinasi horor mereka. Dengan latar budaya seperti itu, wajar kalau zombie terasa kurang menonjol sebagai ikon horor di Jepang.
Sumber: tokyoweekender
Ikuti terus berita terbaru dari kanal-kanal Titip Jepang! Yuk, baca artikel lainnya di sini^^
Jangan lupa Ikuti juga media sosial Titip Jepang:
Instagram: @titipjepang
Twitter: @titipjepang
Facebook: Titip Jepang